Subuh telah tiba, embun pagi yang dingin mengimbaskan rasanya dari kulit menusuk ketulang. Seorang wanita berpakaian lusuh berambut putih dan kulit yang sudah keriput keluar dari gang sempit memanggul tiga buah karung dan kail dari kayu di pundaknya. Dialah nenek Amidah, seorang wanita tua renta yang bekerja sebagai pemulung, berusia 73 tahun dan tinggal sebatang kara di gang sempit kawasan Broni Kota Jambi.
Umumnya pada sebagian orang sampah adalah sesuatu yang tidak dibutuhkan lagi. Namun, berbeda dengan nenek Amidah. Baginya, sampah mempunyai banyak manfaat, sampah sebuah benda yang dapat menyokong hidupnya. Baginya juga, sampah merupakan sesuatu yang penting karena merupakan mata pencahariannya sehari-hari, tanpa sampah, dirinya tak bisa makan.
Nenek Amidah mempunyai lima orang anak. Kelima anaknya sudah berkeluarga. Namun sayangnya, tak satupun dari mereka yang memperdulikannya. Nenek tua renta ini hanya tinggal sendirian, mencari makan sendiri dan mengurusi diri sendiri. Sudah 11 tahun nenek Amidah bekerja sebagai pemulung, setiap hari dia mencari barang-barang bekas berkeliling di kawasan broni sampai sipin Jambi. jika kita ingin melihat nenek Amidah, biasanya dia sering duduk didepan pasar TAC. Tak kenal waktu dan tak kenal lelah dia tetap bekerja. Nenek amidah sangat mensyukuri hidupnya, walaupun sudah tua renta dia tetap semangat menjalani hidup.
Tak terasa, matahari pun keluar dari sarangnya dan menunjukkan kemarahannya yang semakin membara. Begitu panas terik matahari ini. Baju yang kumuh itu sudah dibasahi oleh keringat. Aroma tak sedappun tertancap dalam hidung, sesungguhnya bau busuk tidaklah menyenangkan. Bau sampah yang begitu busuk yang menyengat itu sangat mengganggu penciuman. Namun, bau itu tak asing lagi di penciuman nenek Amidah. Bak sampah besar itupun menjadi teman hidupnya setiap hari. Dengan posisi jongkok nenek amidah masuk kedalam bak sampah itu. kaki yang keriput dan gelap itu sudah terbakar sinar matahari. Kakinya itu sudah tak sungkan lagi berdiri diatas tumpukan sampah. Banyak binatang yang menjijikkan seperti lalat dan belatung yang berkeliaran menjelajahi sampah-sampah. Namun, nenek Amidah sudah tak khawatir lagi. Tangannya yang sudah terbiasa itu sudah terampil memilah-memilah sampah.
Sepanjang jalan sudah dilewati, nenek Amidah duduk sendirian ditepi jalan untuk istirahat sejenak dan melenturkan otot-otot tubuhnya. Disela kesibukannya, nenek Amidah tak lupa mengingat sang pencipta. Tubuh yang tak lagi kuat terpaksa menyandang beban untuk pulang kerumah menjalankan sholat zuhur. Tiga buah karung dipunggungnya terpaksa membuat nenek Amidah berjalan tertatih-tatih menuju rumah. Tetesan keringat dan teriknya panas matahari tak menjadi hambatannya. Dia terus berusaha berjalan agar sampai kerumah. Banyak ojek dan angkot yang menawarkan dirinya. Tapi dia lebih memilih berhemat. Namun, beruntunglah nenek Amidah, ada orang yang baik yang rela mengantarkannya sampai kerumah tanpa dibayar sepeserpun.
Rumah kecil dari papan sudah menunggu kehadirannya. Rumah yang hanya berukuran 3,5 x 3 m menjadi teman hidupnya 11 tahun ini. Rumah kecil ini hanya memiliki satu ruang tengah, kamar tidur yang sempit dan dapur yang juga berfungsi sebagai kamar mandi. Kaki yang kecil itupun berjalan menaiki tangga yang sudah lapuk. Sesampainya dirumah, nenek Amidah tak sempat untuk beristirahat. Dia langsung menaruh beban sampah dipunggungnya lalu turun kebawah untuk mengambil air disumur milik tetangganya dan naik kembali kerumahnya. Dapur kecil itu sudah tak layak lagi, kayunya sudah lapuk sekali. Nenek amidah tidak mempunyai kamar mandi, terpaksalah dia mandi dan mencuci di dapur tempat dia memasak. Setelah selesai mandipun dia menjalankan ibadah sholatnya.
Setelah beraktifitas, Cacing diperut nenek Amidah sudah berbunyi pertanda sudah lapar. Namun, apalah daya, apapun dimakannya asal perutnya tak sakit lagi. Nasi putih tanpa lauk menjadi santapannya hari ini. Mulutnya mengunyah makanan dengan lahap. Jika ada uang lebih untuk berbelanja barula dia makan dengan lauk. Namun, seringkali ada tetangga-tetangga yang turut membantu kehidupannya, mengantarkan beras dan lauk kerumahnya.
Setelah menjalani aktifitas yang melelahkan. nenek Amidah sempat untuk beristirahat sejenak. Tak lama dirinya merebahkan kepala diatas tumpukan baju pengganti bantal. Rumah kecil ini bukanlah rumah sendiri melainkan rumah kontrakan. Untuk itu, nenek Amidah berusaha membanting tulang sendirian untuk mencukupi keperluan hidupnya. Sebulan nenek Amidah harus membayar rumahnya seharga Rp 100.000 lebih. Namun, pendapatannya sehari-hari kadang tak menentu. Biasanya nenek Amidah menjual barang bekas pada pertengahan bulan. Kadang-kadang sebulan. Tergantung pendapatan sampah yang dicarinya. Penghasilannya sebulan mencapai RP 100.000 lebih. Beruntunglah, dirinya mampu mengkoordinir uang. Uang sejumlah RP 100.000 ia pakai untuk membayar kontrakan dan selebihnya untuk makan sehari-hari. Selain itu, nenek Amidah juga bekerja menjadi tukang urut. Seringkali dia dipanggil kerumah-rumah warga untuk menjadi jasa urut. Namun, apalah daya profesinya itu tak menjadi jaminan untuk hidup santai. Pendapatan menjadi tukang urut tidaklah besar dan juga tidak menentu. Kadang Rp 10.000 sampai Rp 20.000. Walaupun tak besar, Nenek Amidah tetap bersyukur.
Rumah sempit, pengap dan panas disertai bau sampah yang menyengat penciuman membuat nenek Amidah tak nyaman untuk beristirahat, ditambah lagi tubuhnya semakin sakit jika dirinya berbaring diatas lantai kayu tanpa kasur. Namun, nenek Amidah tetap bersyukur karena diberikan tempat tinggal.
Baru istirahat sejenak, nenek Amidah sudah bersiap-siap untuk pergi mencari sampah lagi. Ia berkeliling sampai tiga karung yang dipanggulnya penuh. Tak terasa sepanjang jalan sudah dilewatinya, tubuh yang rentah itupun sudah tak kuat lagi menahan beban dipunggungnya. Nenek Amidahpun istirahat sejenak dihalte depan unbari. Hingga sore hari iapun pulang kerumah kembali berjalan kaki seorang diri. Nenek Amidah tidak ingin pulang menaiki ojek ataupun angkot, dia lebih baik memilih berjalan kaki karena dia ingin berhemat.
Dari pada ngojek atau naik angkot mending saya jalan kaki. Kalau ngojek kan sayang uangnya nanti gak cukup buat nabung, bayar kontrakan sama makan, katanya, (25/4/16).
Disekitar rumahnya, nenek Amidah dikenal orang yang baik, ramah, pekerja keras dan penuh semangat. Ridwan salah satu tetangga yang sering membantu nenek Amidah kagum dengan perjuangan nenek tua renta itu
Nenek Amidah orang pekerja keras, penuh semangat, orangnya baik dan ramah, ujar Ridwan, tetangga nenek Amidah.
Jangkrik mulai bersahutan, bintang-bintang mulai bertebaran, nenek Amidah baru sempat merebahkan diri dengan waku yang lama. Tampak kesedihan yang terpancar dari raut wajah yang tua itu. matanyapun mulai berkaca-kaca dan akhirnya air matapun mengalir deras diwajahnya. Tak jarang nenek Amidah menangis hampir setiap malam. Teringat almarhum suami yang ia cintai. Tak mudah menjalani takdir pahit ini, namun apalah daya semua manusia sudah mempunyai takdir masing-masing. Walau diluar nenek Amidah terlihat kuat dan bersemangat namun di dalam dirinya ia merasakan kesendirian dan kesedihan.
“Saya sedih, diusia tua begini saya masih hidup susah. Kalau saya tidak bekerja, saya mau tinggal dimana, saya mau makan apa. Saya juga gak bisa makan nantinya. Walau hidup saya begini, Alhamdulillah saya masih bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk hidup. Saya tetap sabar, harus tabah menjalani kehidupan ini. Bekerja jangan malas-malasan, berusahalah selagi mampu, bahagiakan orang tua, karena orang tua sakit-sakitan melahirkanmu,” ujar nenek Amidah sambil meneteskan air mata.
Malam ini, nenek Amidah baru sempat beristirahat panjang menjelang subuh tiba dan mulai beraktifitas kembali setiap harinya.
Penulis: Ria Ratna Dinanti, Mahassiswa semester 6 Pendidkan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jambi