Oleh: Dudu Mawarida Sembiring Colia
Sebab apa pertemuan terjadi. Kau dan aku lebih beruntung dari sekedar bulan dan bintang, Bo. Malam dimana ia barulah akan bertemu dan berdamping. Kita bahkan tak niat angkat tangan dan berkata menyerah kan, Bo?. Sepakatlah kali ini padaku. Asyiknya perjalanan tamasya kita. Belum puas aku menatap indahnya paras rupawanmu. Kau bersembunyi di balik pohon, pancing aku untuk menangkap dan memeluk hangat tubuhmu. Ketika itu aku bertanya dengan mataku yang berkaca-kaca, “Bo, apa kau mencintaiku? “.Melirih.
“Ehem…” jawabmu mengalunkan suara manis yang kau punya.
“Selalu?”,sambungku.
“tentu”. Kau semakin mengerat jemari di atas pusaran bajuku.
Kala itu aku benar-benar merekamnya. Tak ingin suatu hari nanti luput dari ingatan. Aku memejam mata dalam pelukmu yang semakin hangat. Sesekali kau melakukan hal yang teramat ku suka. Kau mengusap-usap rambutku yang bertebar di wajah sebab semburan angin pantai sore itu. Alam pantai kian mendukung cerita kita. Cerita cinta yang tak sengaja menyatukan hati kita berdua. Bagaimana mungkin?. “Bo, izinkan aku memberitahu pantai ini yang tampak penasaran. Bolehkan?”.Kau tersenyum semakin memanjakanku, seakan berkata “ Lakukanlah apa yang ingin engkau lakukan, sayang”. Itu membahagiakan sekali.
Sebelum gayung bersambut, ingatlah pesanku pantai. Ini rahasia kita. Jangan bunyikan suara desir ombakmu sekecil apapun. Aku malu. Sungguh.
Aku masih ingat betul. Waktu itu aku tengah duduk di kursi kayu bercat kuning biru yang saling berhadapan, di kota Berastagi tempat ku menumpang di lahirkan. Aku di lepas liarkan mengitari tempat itu meski tak tahu seluk beluknya. Sempat tepikir akan kesasar nantinya.
“Untuk apa sibuk jalan kesana kemari, di kursi ini pun aku dapat menikmati keluarbiasaan alam ciptaan Tuhan yang satu ini. Wah, sungguh menenangkan jiwaku”, terbesit ungkapan takjub dari hati yang terpesona.
Hanya berteman dengan udara dingin dan sejuk, ku coba berbaring di atas kursi biru. Membuat kursi kuning cemburu. Ku buka kerah baju yang agak mencekik leher. Lalu tubuhku seakan tengadah pada dewa langit berawan syahdu. Ku bentang kedua tangan di permukaan kursi yang cukup lebar.
“Awas kak, ula kari lit anak perana si ndahi kam!. Tindih na kari kam”, cetus canda Nata, adik sepupu dari kejauhan berusaha mengingatkan.
Terasa geli di telinga namun masa bodoh, pikirku. Katanya, “awas kak, jangan sampai ada anak lelaki yang menghampirimu!. Dia akan menindihmu”.
“Kalau setampan Anta Prima Ginting, sih, tidak apa-apa. Ha ha ha. Gelagak tawaku.
“Aku hanya bercanda pantai!”. Kembali aku menyapa sang pantai. Senantiasa setia mendengar tak berpaling walau sebentar. Cukup lama aku terbaring. Sempat tertidur pula. Wajar saja, tempat itu seperti syurga. Ya, mungkin saja syurga yang sesungguhnya pun terasa demikian.
Awalnya mata ku pejam. Semakin lama terasa di tarik hingga mulai mendapati dunia mimpi. Alam mimpi yang gelap namun manis dengan kerlip lampu yang sesekali bermain mata denganku. Tergambarlah aku berdiri di tengah jalan lapang dekat pamplet beraksara kata “HORAS RAS MEJUAH-JUAH”, seolah memberkati diri. Kulihat seorang pria yang hingga sakit mataku ini memperjelas siapa dia. Entah anak muda atau paruh baya. Pria itu tegak mengenakan jaket merah maroon ia kalungkan di pundaknya. Menatap layar telepon genggam dan dengan sengaja membelakangi motor besar miliknya.
Bersambung…..
Biodata Penulis :
Penulis merupakan mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Fakultas FKIP Universitas Jambi, bertempat tinggal di Perumahan Mendalo Asri Blok F.No 10.