NAIM MERAJUT MUSTAKIM
Karya: FS Indah

“Bu, apa nenek akan datang kerumah?” suara itu datang lagi menyengat, kata-kata apa lagi yang harus wanita itu ungkapkan kepada anak gadis semata wayangnya, di genggam erat tangan lembut anak gadisnya, “Nak, insya Allah nenek pasti datang”, “Tapi kalau nenek tidak datang gimana bu?” sambung anak itu kembali “Mungkin mingggu depan atau bisa jadi lusa nenek datang kemari nak”. Gadis itu menunduk lesu, sambil menatap ibunya, kemudian ia berbalik memasuki kamarnya tepat di sebelah kanan, dari ibunya duduk. Gadis itu menjadi murung.
Ini sudah sekian kalinya nenek tidak pernah datang di acara apa pun bentunya dalam hal yang berkenaan denganku. Padahal ini adalah acara syukuran karena aku dapat masuk ke perguruan tinggi negeri di Jogyakarta, aku ingin acara berlansung jika nenek sudah datang. Waktu semakin berlalu tapi tidak ada tanda-tanda kedatanagan sang nenek. Ini sudah pasti lagi-lagi acara ini tidak ada keberadaan nenek diacaraku. “Nak, sepertinya nenek tidak datang, lebih baik acaranya kita mulai saya ya, kasian para tamu sudah lama menunggu, ibu jadi tidak enak nanti”. Aku hanya bisa mengangguk dan berjalan keluar kamar mengikuti acara syukuran itu. Ayah memberikan kata sambutan kepada para tamu yang datang. Acara yang dilaksanakan tidak begitu megah, hanya syukuran kecil-kecilan dengan mengundang kerabat-kerabat dekat dan tetangga-tetangga yang tinggal didekat kompleks perumahan. Aku tidak begitu bahagia dengan acara syukuran itu, aku sudah tidak mempedulikan acara syukuran itu,bahkan aku tidak mengikuti acara itu hingga selesai. Saat acara ramah tamah, aku keluar mencari udara segar.
Malam itu langit begitu indah, bintang-bintang bertaburan ada yang bersinar sangat terang diantara bintang-bintang diatas sana, mataku terfokus pada pada satu bintang terang dilangit itu, tapi keindahan itu seketika melebur menjadi serpihan-serpihan. Aku ingin nenek disini, masih kupandang gerbang halaman di depan rumah, berharap nenek bisa datang, harapan itu terus memperkuat keinginanku untuk tetap duduk dibangku besi bercat putih itu.
Hembusan angin membawaku merenung kearah seberang jalan yang berjejeran dengan lampu disana. Tampak seseorang pemuda membawa seorang wanita yang sudah paruh baya yang di boncengnya menggunakan motor. Mukanya tidak begitu jelas kulihat karena sorot lampu yang yang terang menyilaukan mataku, postur tubuh lelaki itu tidak asing kulihat, dengan menggunakan baju kokoh dan peci hitam yang dia kenakan. Itu pasti rahman, lelaki yang menjadi idaman setiap wanita yang tinggal dikompleksku, rumahnya berada tepat disamping rumahku hanya dibatasi tembok setinggi bahuku, kira-kira tingginya 1 meter. Ramhan adalah teman dekatku semenjak dia pindah di daerah kompeleksku, aku juga sangat dekat dengan neneknya, semenjak kedua orangtuanya meninggal karena kecelakan, ramhan kini tinggal bersama neneknya.
Aku memberi lambaian tangan dan senyuman, kepada ramhan dan nenek ketika melewati depan rumahku, ramhan membalas dengan anggukan tubuh membuat motornya sedikit oleng, hingga neneknya menjadi kaget dan langsung memukul punggung ramhan “Seng bener toh man!” ,“Iya – iya” sambil memamerkan giginya saat berpaling kebelakang melihat neneknya, yang sudah terapi jantung oleh kelakukan jahil cucunya. Aku hanya tertawa kecil melihat kejadian itu. “Pukul aja terus nek biar gak kurang ajar lagi sama orang tua” ledekku dari kejauhan. “Iyo, ramhan ki eneng-eneng wae, untung wae ra tibo, sampek tibo ooo tak ketak endas e”, “Aaaa ampun”. Suara itu semakin samar, menghilang dari balik tembok gerbang. Kini motor itu memasuki rumah sebelah. Aku hanya mesem-mesem melihat kelakuan jahil ramhan. Pandanganku kini kembali menengadah ke atas langit, bola mataku bergerak menyelami galaksi bima, dilangit sana sejauh mata memandang, kuhirup udara dalam-dalam lalu kuhembuskan secara berlahan pikiran ku sejenak lebih tenang.
Dari arah gerbang tampak seseorang masuk kedalam halaman rumah, arahnya semakin cepat mendekatiku, dari jauh tangan pemuda itu menengadah keatas
“Assalamualaikum buk bos” sambil memasang muka sumeringah
“Walaikumsalam warahmatullah wabakatuhh”.
“Belum telambatkan diriku?” celingukan melihat kearah dalam rumah
“Gak kok, pas-pas….” sambil tersenyum kecut kearahnya
“Iya dong” dengan bangganya memasang muka sok tampannya itu
“Pas banget telatnya” ledekku
“Ya Allah telat beberapa menit pun”
“Acarany udah dimulai dari tadi rammhaann bintii ismail gunawan”
“iyah udah dimulai ya, terus acara makan-makannya kapan? Laper nih, belum makan”
“Nih anak udah telat, malah mikir makanan” gerutuku
“Hehehe, sebagai sahabat yang pengertian, layanilah tamu yang terganteng ini dengan sepenuh hati”
“Dihh, ni anak pede banget, ganteng dari hongkong, iya ganteng kalau dilihat pakai sedotan pipet” ejekku sambil berlalu masuk kedalam untuk mengambil beberapa makanan dan minuman untuk ramhan.“Bawa yang banyak yaa, sama jus jeruk esnya agak banyakin ya yaa” sambungnya dengan nada sedikit teriak, aku terus berlalu masuk kedalam rumah tanpa mempedulihan permintaan aneh dari pemuda itu. Ternyata didalam masih makan-makan bersama, aku menuju kedapur, “Nak ayo makan” suara itu serentak membuatku menjadi sedikit kaget, “Hm, indah nanti aja bu makannya, mauu..” belum selesai aku melanjutkan berbicara ramhan masuk kedapur lewat samping rumah. “Assalamuikum tante” sambil menghampiri ibuku dan mencium tangannya. “walaikumsalam oalah ada nak rahman toh” , “sini ayok makan bersama, kok gak lewat depan aja tadi nak” sambil menuangkan nasi dan lauk untuk rahman, “Hmm, eh gak apa-apa tan, nanti rahman ambil sendiri aja tan, eh iyaaa didepan tadi rame tan, gak enak mau masuk”
“Ya ampun, tinggal masuk aja kok nak-nak”. “Eh iyaa tan”,“Segini atau mau ditambah lagi nasinya? lauknya mau yang mana?”, “ hmm udah tante, udahh cukup segitu aja, biar ramhan aja yang ambil lauknya sendiri”, “Bener yaa, makan yang banyak, jangan malu-malu makan aja ya”, “Siapp tante, nantikan bakalan dilayani sama indah, ya kan dahh” dengan ringannya ramhan menoleh kepadaku, untuk melayaninya “Idihh ogah, makan ambil sendiri, anda sudah besar, anda punya tangan, ada kaki, dan anda harus bersyukur masih diberi kesehatan jasmani, gak ada manja-manjaan pokoknya” gerutuku sambil melipat tangan. “Tuh tan, tamu adalah rajakan tan, berarti harus dilayani kan tante” sergahnya lansung “kalian ini, sudah-sudah, tante mau kedepan, indah, itu ada beberapa makanan didalam kulkas nanti ambil, kasih ke nak ramhan, untuk nenek yah”, “Oke buu”, ibu langsung bergegas menuju ruang depan.
Ramhan kembali memandangku dengan muka sok imutnya, sambil memberikan sepiring yang telah terisi nasi “Ambilin dong, tuh ayam opornya”, “Aduhh aduh duh tanganku kok mendadak kram yaa” sambil memegang pergelagan tangan, untuk ngelabui ramhan. “Hm, mulai tuh, sok pura-pura kram, kram beneran baru tau rasaa” gerutunya sambil mencentong sayur opor yang ingin dia makan. aku hanya cekikikan sambil membuka pintu kulkas dan menyiapan tempat makanan untuk diberikan kepada neneknya.
***
Kejadian ini bermula saat aku pulang dari rumah ramhan, saat itu juga tanpa sengaja aku mendengar pembicaan antara ibu dan nenek melalui gawai. Dunia terasa runtuh seketika, bibirku gemetar, hatiku meronta-ronta, tubuh ini terasa diserbu oleh ribuan panah, aku berlari masuk kedalam kamar, dan menutup pintu rapat-rapat. Ribuan pertanyan bergelantungan menghantuiku, isak tangisku tak bersuara, tidak ada yang mengetahui kejadian itu selain dinding-dinding kamar yang membendung menutup rapat rahasiaku itu.
“Nak, kamu udah pulang?”. Ibu mengetuk pintu kamarku untuk memastikan aku sudah pulang atau belum. Segera ku memasang nada suara tenang walau sedikit agak gemetar, “Iya bu, indah udah pulang”, “Keluar yuk nak, ibu ada buat rujak tadi, yuk kita makan, ibu tunggu di dapur ya”, “Hm, ibu aja yang makan, indah masih ada yang mau di kerjain dulu bu”, “Hm oke kalau gitu, rujaknya ibu masukin ke kulkas aja ya, kapan kamu mau makan ambil di kulkas ya nak”, “Iya bu” , aku hanya terpaku memandang pintu, mendengar derap langkah ibu yang mulai menghilang meninggalkan pintu kamarku.
Aku hanya menangis dibalik selimutku, bantalku banjir air mata. Hatiku hancur sejadi-jadinya, aku seperti terdampar dipulau yang tidak tau arah untuk kembali lagi. Disepertiga malam aku bangun, melangkah dengan sedikit tertatih, tubuhku seperti tidak berdaya, airmata ini tidak berhenti untu terus mengalir, dengan melafazkan Bismillahirahmanirrahim ku tegarkan hatiku, ku kokohkan tubuhku, “Aku pasti bisa melewati semua ini, bukankah Allah tidak akan memberi cobaan yang melampaui batas kemampuannya,” mulailah aku berwudhu untuk mendirikan salat tahajud. Pada sujud terakhir aku meminta untuk dapat ditegarkan hatiku, dan dapat dibuka jalan keluarnya yang terbaik, tidak banyak pintaku aku memohon jangan pisahkan aku dengan orang-orang menyanyangiku.
***
Seperti biasa aku bangun lebih awal setelah salat subuh, untuk menyiapkan sarapan ayah ibu dan membantu membereskan rumah, di ruang tengah kupandang satu persatu foto-foto yang berjejer dengan rapinya di dinding, raut muka gadis kecil, imut, menggemaskan, tersenyum lebar. Aku langsung mengalihkan pandangan dan kembali menyapu. Saat kembali ternyata ibu sudah ada didapur, kali ini ibu tampak terburu-buru dan begitu sangat cemas, ibu menyuruhku untuk segera bersiap-siap, ternyata ibu mendapat telepon dan menerima kabar bahwa nenek masuk kerumah sakit. Tidak beberapa lama mobil kami melesat menembus kesibukan dijalan kota, menuju rumah sakit. Ternyata nenek terjatuh dari kamar mandi dan tidak sampai membuatnya mengalami kelumpuhan hanya membutuhkan istrahat yang cukup untuk kembali memulihkan kesehatannya. Aku bisa bernafas lega mendengar itu semua.
Airmataku kini tidak dapat terbendung lagi, aku sudah berupaya menahannya tapi aku payah, aku begitu lemah, kenapa aku cengeng sekali. Sebuah tangan memegang bahuku, setika aku menoleh, dan langsung memeluknya erat-erat, dengan terbata-bata karena menahan isak tangis “ Buuu, indah sayanggggg ibuuu, indah bersyukur bisa memiliki keluarga seperti kalian, indah cuman mau bilang terima kasih banyak bu untuk semuanya, indah sudah tau semuanya bu, indah juga tau kenapa nenek tidak datang disetiap acara indah, mungkin acara itu tidak terlalu penting bagi nenek, ne nek hanya mau cucu dari darah dagingnya sendiri buuuu” seketika ibunya tersentak kaget mendengar itu semua, airmata ibunya mengalir, rahasia yang dia sembunyikan selama bertahun-tahun diketahui oleh indah. “Maafkan kami sayang”. Disaat bersamaan juga ayahku hanya bisa diam terpaku melihat kejadian itu. Berlahan ayah mendekat sembari memeluk kami berdua dan langsung berbisik “Kamu tetap putri kesayangan ayah nak”, “ayaahhh” pekikku luapan air mata mengalir begitu deras menghantam batu-batu , karam, tenggelam dalam kisah lawas membawa kesyukuran kepada sang pencipta.
(Trinspirasi oleh Puisi dengan Judul Makna Setetes Air Karya Yosi Kasih Azali).

Selesai

 

MAKNA SETETES AIR MATA

Air mata tak perlu jatuh
Biarlah tetap menelaga menyimpan berjuta kisah
Dari runtuhan puingpuing takdir jiwa

Jatuh hanya untuk sebuah hikmah
Jatuhlah demi sebuah nasuha
Jatuhlah sebagai tangis bahagia
Membasalah di tengadah doadoa

Airmata tak perlu jatuh
Biarlah mendung bergelayut menympan janinjanin duka
Yang kelak melahirkan bayib ayi keiklasan

Tumbuh subur di lahan ketabahan
Kau akan menjadi indah oleh imbas aura air mata

YsJambi, 221914

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here