Hayat

Pagi buta dia terus belari, mendatangi tempat pembuangan sampah di pasar. Ratna sudah biasa seperti itu, berlomba dengan petugas kebersihan yang selalu datang pukul enam. Ratna menggantung hidupnya dari botol-botol bekas. Tapi sudah satu minggu ini dia jatuh sakit, dia tidak bisa kerja dan harus berpuasa karena tidak punya uang untuk membeli makan. Ratna tinggal tidak jauh dari pasar, di gubuk kayu yang mengenaskan.

Tempat tinggalnya berada di pinggir ngarai yang sering banjir. Bila musim hujan Ratna mengungsi ke tempat pembuangan sampah dan membuat rumah dari kayu dan kardus bekas. Sering pemerintah setempat berusaha menggusur rumahnya, tapi Ratna selalu kembali dan membangun rumahnya lagi. Tidak ada tempat lain untuk tinggal, alasannya kepada aparat yang memaksanya pergi.

Akhirnya dia tetap tinggal di sana dengan keadaan waswas, bukan hanya karena penggusuran tetapi juga karena berbagai penyakit yang dideritanya. Sekujur tubuhnya dipenuhi penyakit kulit yang membuatnya gatal. Bahkan sampai membuat kulitnya mengelupas. Ratna tidak punya uang untuk berobat, dia hanya membiarkan penyakit kulit itu memakan sekujur tubuhnya.

Pagi buta itu tiba-tiba jantungnya berdetak kencang. Suara pria memanggilnya tidak jauh dari tempat sampah yang dia singgahi. Ratna kenal suara itu, dia melihat ke kejauhan tempat suara itu muncul.

“Sialan, ternyata mereka.” cetus Ratna ketika melihat preman pasar yang kerap menggodanya.
Dia membereskan karung kemudian berlari meninggalkan tempat sampah. Kedua preman itu lekas mengejar.

“Tolong!” Teriak Ratna keras, belum ada lapak yang buka di sana.

Ratna terus berlari melewati lorong-lorong pasar yang masih sepi. Kemudian menuju ke suatu kotak besar dan membukanya. Dia masuk ke dalam kotak itu, bersembunyi di dalam sana cukup lama. Ratna berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah. Tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki. Dia juga mendengar suara kedua preman yang mengejarnya.
Preman itu mencari Ratna hingga ke selokan, mereka ingin melampiaskan nafsunya. Ratna sering dilecehkan, tapi ketika dia melaporkan kejadian itu ke petugas keamanan tidak ada yang bisa membantunya. Begitu pula warga pasar yang memilih bungkam. Tidak ada yang berani melawan preman itu semenjak nasib malang yang menimpa Yanto. Waktu itu, Yanto enggan membayar pajak keamanan kepada preman. Dia bahkan menantang preman untuk berkelahi. Besoknya, Yanto ditemukan tidak bernyawa di lapaknya. Sejak saat itulah tidak ada lagi yang berani melawan mereka.

Ratna berkeringat di dalam kotak, dia sangat cemas. Suara langkah kaki semakin mendekat, dia menutup mata. Jantungnya berdetak kencang, ada yang memegang kotak tempatnya sembunyi. Perlahan kotak itu terbuka, Ratna lekas berteriak.

“Jangan, aku mohon jangan ganggu aku.” Seraya menangis pasrah.

“Tenanglah, Nak. Jangan berteriak seperti itu.”

Ratna membuka mata, dia melihat seorang Nenek menenangkannya. Ratna menarik napas, dia bersyukur.

“Maaf, Nek. Tadi aku lagi sembunyi dari preman pasar sialan itu.”

“Mereka sudah pergi”

Ratna berdiri dan keluar dari kotak, dia tersenyum kemudian pergi meninggalkan Nenek. Nenek hanya tersenyum menatap punggung wanita muda itu. Ratna mengais tong sampah di depan lapak. Dia menemukan sisa nasi bungkus lengkap dengan sebotol air mineral yang masih tersisa. Kemudian dibawanya ke atas bangku kayu. Sudah seminggu Ratna tidak makan, perutnya sangat lapar. Ketika dia hendak menyantap sisa nasi bungkus, tiba-tiba dia melihat Nenek terbaring lemas di dekat kotak tempat dia sembunyi

Ratna diam sejenak, dia menutup kembali sisa nasi bungkus itu kemudian datang menghampiri Nenek.

“Nenek sudah makan?”

Nenek menggelengkan kepala, Ratna kembali diam kali ini dia harus memilih. Mengobati rasa laparnya atau memberikan makanan itu kepada Nenek. Ragu-ragu Ratna memberikan nasi bungkus kepada Nenek.

“Makanlah, Nek. Saya punya sedikit nasi.”

Nenek lekas mendekati Ratna dan mengambil sisa nasi bungkus. Nenek menyantap nasi itu penuh nafsu.

“Kau tidak makan, Nak?”

“Tidak, Nek. Saya baru saja sudah makan.”

Raut wajah Ratna tidak bisa dibohongi, matanya terus menatap Nenek yang sedang menyantap nasi bungkus. Nenek berhenti makan, dia memberikan kembali nasi itu kepada Ratna.

“Kau tidak boleh membohongiku, Nak. Katakan saja kalau kau belum makan. Nenek sudah cukup makannya, silakan kau habiskan.”

Ratna tidak membalas, dia mengambil nasi bungkus itu dan menyantapnya. Nenek hanya tersenyum, dia terus melihat senyuman Ratna yang sangat cantik. Tiba-tiba perhatian Nenek mengarah ke kalung yang tergantung di leher Ratna. Nenek mendekat, berusaha mengambil kalung itu.

“Mundur! Jangan coba-coba mencuri kalungku.” Bentak Ratna seketika saat Nenek berusaha mengambil kalungnya.

“Tenanglah, Nak. Saya tidak akan mengambil kalungmu.”

“Bohong, tadi kenapa Nenek mau memegang kalungku? Pergi dari sini!

Nenek terdiam, dia tidak lagi bicara apalagi menyentuh kalung yang melekat di leher Ratna. Tapi ada yang aneh, seketika air mata Nenek mengalir dari celah matanya yang mengkerut dimakan usia.

***

Dua belas tahun yang lalu ketika Ratna masih duduk di bangku SMP, dia merindukan ibunya yang telah berpisah sejak bayi. Prasetyo menikah lagi dengan seorang janda cantik bernama Heti. Heti bukanlah ibu yang baik buat Ratna, dia selalu memarahinya. Bahkan Heti kerap memukul Ratna hingga berdarah. Tetangga mereka bahkan sering menegur Heti, tapi suaminya selalu membela dan mengajak berkelahi tetangga sekitar.

Warga di situ beranggapan Prasetyo telah diguna-guna oleh Heti, sehingga pria itu tega mengusir mantan istrinya. Ibu kandung Ratna seperti hilang tanpa jejak, tidak ada yang tahu keberadaannya. Bahkan keluarga besarnya juga tidak ada yang tahu, mereka sempat menuduh Prasetyo membunuh mantan istrinya. Tapi tuduhan itu tidak terbukti, Prasetyo bebas dari kasus itu dan membenci Ratna.
Ratna tumbuh dalam keluarga yang tidak harmonis, Heti dan Prasetyo sering ditangkap polisi dengan berbagai kasus yang menjerat. Mulai dari penipuan, perampokan, pemerasan, hingga narkoba. Anehnya, semua kasus itu tidak ada yang terbukti. Mereka selalu selamat dan bebas.

Ratna tidak pernah mendapat perhatian, pakaian yang digunakannya juga jauh dari kata layak. Teman-temannya ketika di sekolah dasar memanggilnya sidekil karena penampilannya yang kusut dan bau badannya yang menyengat. Tidak ada yang mau menjadi temannya, Ratna menjadi orang yang tertutup. Dia sering mendapatkan perundungan dari teman-teman kelasnya. Ratna hanya menangis, hingga guru datang untuk menghentikan perbuatan teman-temannya itu.

Ratna dipaksa berhenti sekolah, Prasetyo menyuruhnya untuk kerja mencari uang. Gadis kecil itu terpaksa menuruti perintah ayahnya, karena Prasetyo selalu memukulnya jika melawan.

“Ratna mau sekolah, Ratna mau masuk SMP.”

“Tidak boleh, Ayah tidak punya uang untuk membayar sekolahmu.”

“Ratna bisa cari uang sendiri.”

“Nah, itu memang tugasmu sekarang. Kau harus mencari uang! Tidak perlu kau masuk sekolah, tidak ada gunanya.”

“Tapi kawan-kawan yang lain masih sekolah.”

“Kau tidak punya kawan! Mereka semua tidak mau bermain denganmu. Sekarang kau pergi mandi, Ayah punya pekerjaan untukmu.”

Ratna tidak beranjak, dia terus menangis sambil memeluk boneka. Prasetyo semakin marah, dia mengambil ikat pinggang di belakang pintu.

“Ampun, Yah. Ampun”

Ratna berteriak kencang selama satu jam, sekujur tubuhnya memerah dipukul Prasetyo menggunakan ikat pinggang. Bahkan tangisannya terdengar sampai ke rumah tetangga, mereka tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa melaporkan ke Pak RT, setelah itu tidak ada tindak lanjut yang dilakukan.

***

Prasetyo meninggalkan Ratna di depan hotel mewah, dia tampak sangat cantik. Heti mendandaninya, bajunya juga anggun tidak seperti biasanya. Ratna kebingungan, dari dalam hotel Prasetyo keluar bersama seorang pengusaha kaya.

“Ini anakku, dialah yang aku maksud” Ujar Prasetyo.
Pria itu tersenyum, dia mendekati Ratna perlahan. Pria itu menghirup aroma tubuh Ratna yang menggoda.

“Baiklah, nanti aku kirim uangnya.”

Mereka berjabat tangan, Prasetyo mendekati Ratna. Dia mengelus rambut anaknya, kemudian berbisik.

“Kalau kau macam-macam, Ayah pukul pakai ikat pinggang.”

Ratna tidak bicara, dia hanya mengikuti arahan dari Prasetyo. Setelah itu, Prasetyo pergi meninggalkan mereka. Ratna tidak melawan, dia mengikuti perintah dari pria itu.

“Ayo, ikut oom.”

Mereka masuk ke hotel, menuju kamar seratus dua puluh. Ratna masih belum tahu apa yang dilakukan pria itu. Dia masih polos, hanya seorang gadis kecil yang masih suci. Sesampainya di kamar, Ratna duduk di tepi ranjang. Pria itu melepaskan kemejanya, Ratna masih belum mengerti. Kemudian pria itu merebahkan Ratna ke atas kasur. Jantungnya berdetak kencang, Ratna mulai ketakutan. Pria itu berjalan menuju pintu, kemudian menutupnya. Mereka hanya berdua di dalam kamar, tidak lama kemudian terdengar suara tangisan yang sangat keras.

***

“Pokoknya aku tidak mau bayar!”

“Loh tidak bisa begitu, kita kan sudah sepakat.”

“Sepakat matamu, anakmu saja kabur.”

“Kan lagi dikejar polisi, pokoknya tenang saja.”

“Cari dulu, baru aku bayar!”

Prasetyo membanting gawainya ke kasur, tengah malam itu emosinya mendadak naik. Anaknya kabur dari hotel dan dibawa oleh seorang wanita misterius. Dia sudah menghubungi seorang oknum polisi bayarannya untuk mencari anaknya. Satu jam sudah pencarian itu tidak ada hasil.

Ratna berhasil kabur dari hotel, berkat seorang wanita yang ternyata sudah mengikuti sebelum masuk ke kamar. Mereka sampai di pasar, bersembunyi di tengah pasar yang sepi.

“Dimana ini? Aku takut.” Ujar Ratna.

“Tunggu di sini!”

“Dak mau, di sini gelap.”

Wanita itu memeluk Ratna erat, dia merasakan jantung Ratna berdetak kencang. Setelah itu dia mengelus rambutnya.

“Tenanglah, Nak. Kau aman di sini.”

Ratna hanya diam, perlahan wanita itu beranjak pergi. Sebelum dia meninggalkan Ratna, wanita itu memasangkan kalung ke lehernya.

“Jaga dirimu.”

Itulah percakapan terakhirnya dengan Ratna, wanita itu menyerahkan diri ke polisi. Mendapat kabar bahwa penculiknya tertangkap, Prasetyo datang ke kantor polisi.

“Dimana anakku?”

Wanita itu tidak menjawab, dia hanya memandangi Prasetyo penuh amarah. Tatapan itu membuat Prasetyo naik pitam.

“Dimana anakku? Jawab!”

“Aku tidak tahu!” Wanita itu meludahi Prasetyo.

“Kau kurang ajar, kau akan membusuk di penjara dasar penculik.”

“Kau yang akan busuk di kuburmu!”

***

“Akulah yang memberikan kalung itu padamu.” Kata Nenek itu ketika Ratna hendak menjauh darinya.

“Tidak mungkin, kau hanya ingin mencuri kalung ini.”

“Kau sudah lupa? Akulah yang memberikan kalung itu dulu, ketika kita ada di pasar ini. Aku meinggalkanmu sendirian di sini, Nak. Ternyata kau sudah besar sekarang, aku kira kau sudah habis oleh ayahmu.”

Nenek memeluk erat, Ratna hanya diam. Pelukan itu pernah dia rasakan sebelumnya, pelukan yang sangat dirindukannya. Tiba-tiba air mata Ratna mengalir, dia memeluk erat Nenek itu.

“Ada yang ingin aku perlihatkan padamu, Nak.”

***

Mereka sampai di rumah kayu beratap daun, rumah itu jauh di dalam hutan. Jauh dari keramaian kota, sekelilingnya hanya terdengar suara binatang.

“Masih jauh, Nek?”

“Kita sudah sampai, Nak.”

Mereka masuk, Ratna melihat seorang wanita tua terbaring lemas di dalam rumah itu. Ratna tidak mengenalinya, dia kebingungan.

“Siapa ini, Nek?”

“Dia pemilik kalungmu, Nak.”

Tiba-tiba wanita tua yang terbaring itu menatap ke arah Ratna. Air matanya mengalir pelan.

“Ratna, kaukah itu?”

Ratna semakin bingung, wanita itu mengenalinya sedangkan dia tidak. Ratna hanya memandang iba.

“Kemarilah, Nak. Sudah lama aku tidak melihatmu.”
Nenek menuntun Ratna untuk mendekat, dia ketakutan. Wanita itu mengelus wajah Ratna lembut.

“Aku sangat merindukanmu, sejak dulu aku berharap dapat melihatmu lagi sebelum pergi untuk selamanya. Peganglah tanganku, Nak.”

Ratna menggenggam tangan wanita tua yang sudah sekarat itu. Wanita itu menitikkan air mata. Dia tidak bicara lagi, napasnya mulai terengah-engah. Tidak lama kemudian, wanita itu meninggal dunia.

“Aku masih belum mengerti, siapa dia?” Tanya Ratna kepada Nenek yang sudah beku dalam duka.

“Dia ibumu, Nak.”

Sontak Ratna menangis, hatinya tercabik-cabik. Sejak kecil dia ingin bertemu dengan ibunya dan merasakan kasih sayang yang selama ini hilang. Dia memeluk ibunya keras, seraya terus menitikkan air mata. Pertemuan itu tiba di ujung hayat ibu, Ratna mencoba tegar dan mengikhlaskan semua kejadian yang menimpanya.

“Terima kasih sudah membawaku ke sini, Nek. Terima kasih juga sudah mempertemukanku dengan wanita yang kurindukan selama ini. Meski pertemuan ini datang di ujung hayatnya.” Ujar Ratna kepada Nenek, tapi tidak ada balasan. Setelah Ratna melihat ke belakang, ternyata Nenek itu sudah menghilang.

TAMAT

Nafri Dwi Boy

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here