Aku bersungut-sungut mendengar permintaan Kemas. Bagaimana tidak, hari ini ia minta dibelikan pulsa lagi. Padahal baru kemarin, akupun terpaksa merelakan uang tepung dan gula merah untuk membeli pulsa tiga puluh ribu.
“Ini daun pisangnya nak,” sapa Ayah menghampiriku berdiri di pintu belakang rumah seperti biasa.
“Yah, hari ini Nyimas belum membeli bahan untuk kue padamarannya, apa Ayah punya uang lebih untuk membeli bahan-bahan kue?” sahutku sembari mengambil gulungan daun pisang yang dipikul Ayah.
Sebulan sudah kepalanya pusing. Akhir-akhir ini Ayah sering berpuasa, berusaha mengelabui perutnya untuk menutupi kebutuhan pulsaku dan Kemas belajar daring selama pandemi. Kami berjudi dengan waktu. Lalu di luar, corona kian beringas.
“Uangnya sudah Ayah kasih sama Nyimas kan?”
“Iya Yah, tapi Kemas yang pakai uang itu, Padahal baru kemarin Nyimas belikan pulsa untuknya, dan sekarang sudah habis saja,” jawabku menggerutu.
“Yaa mungkin, banyak tugas sekolah jadi penggunaan pulsa juga tinggi nak.”
“Yah, Nyimas yang kuliah aja cukup untuk ngerjain tugas-tugas nyimas yang lebih banyak dari anak SMA, dan harga pulsa kami sama kok Yah. Nyimas yakin, pulsa yang harusnya untuk belajar daring dia pakai juga untuk main game,” selaku yakin.
“Sudahlah, hari ini kita tidak usah jualan kue padamaran ya, Ayah akan jual ubi ungu dengan buah naga yang hari ini siap panen,” balas Ayah tenang.
“Ayah terus manjain Kemas. Yah, adek juga harus ngertiin dong kondisi Ayah sekarang, Ayah nggak bisa terus-terusan turuti semua kemauan Kemas. Apa Ayah lupa, sekarang penghasilan kita hanya dagangan kue padamaran dan hasil kebun saja,”
“Sudahlah Nyimas, Ayah akan berusaha mencukupi kebutuhan kalian, walaupun sekarang Ayah sudah tidak menjadi karyawan kantor lagi. Doakan saja pandemi cepat berakhir, agar Ayah bisa melamar pekerjaan di banyak kantor yang tutup,” ujar Ayah menggebu.
Beruntung aku selalu ingat pesan almarhum ibu agar rajin menabung. Kuputuskan menggunakan uang tabungan untuk modal padamaran hari ini.
Hampir satu setengah jam lebih aku berjalan menelusuri bibir jalan menjajahkan padamaran. Tapi, tetap saja tidak ada satu pun pembeli. Waktu kian gelap. Aku menengok ke kanan-kiri, berharap ada yang mampir membeli padamaran.
Sejak keadaan negara dilanda wabah, perekonomian benar-benar pontang-panting. Apalagi akhir-akhir ini segalanya semakin menjadi susah, banyak perusahaan yang menutup rapat-rapat dengan PHK. Belum lagi di sektor pendidikan yang kian memprihatinkan, keefektifan proses belajar yang dilakukan secara daring masih menimbulkan kontra para pelajar. Akibatnya, banyak proses pembelajaran yang terhambat bahkan nyaris tidak menyentuh tujuan pendidikan.
Aturan pembatasan wilayah, di rumah saja, dan jaga jarak tidak bisa dilawan. Wabah ini bagitu sangat buas, banyak orang takut pergi ke luar rumah. Aparat sering keluyuran, mondar-mandir memeriksa jalanan kota. Itu membuat orang benar-benar takut. Pedagang sepertiku yang paling menjerit atas itu.
Udara kian dingin, lembab dan bau tanah basah. Tidak lama berselang, jalanan mulai basah, geremis dan hujan pun turun, aku berlari menuju halte bus yang kujumpai di persimpangan jalan Teratai.
“Yaampun aku lupa, sore ini aku ada kelas dengan Prof. Yundi, sempat tidak ya aku pulang kerumah, apa aku kuliah di halte ini saja, masih deras lagi hujannya.”
Tanpa berfikir panjang, aku menggeledah keranjang mencari gawai yang sedari tadi kuabaikan bersama tumpukan padamaran. Akupun segera membuka grup WhatsApp kelas untuk mengikuti kuliah daring hari ini bersama Prof. Yundi.
“Yah, sinyalnya aduh gimana nih, zoomnya muter-muter terus. Gimana aku bisa ikut kelas kalau sinyalnya susah begini.”
Sepuluh menit telah berlalu, layar gawaiku masih setia di aplikasi zoom yang loading belum bisa masuk kelas Prof. Yundi.
“Sepertinya aku harus cari tempat yang sinyalnya bagus, di halte ini sinyal sangat tidak mendukung. Aku sama sekali tidak bisa masuk ke zoom,” pungkasku mantap.
Langkahku terasa begitu berat. Aku berlari menyusup riak hujan bersama keranjang daganganku, mengabaikan riuhnya katak yang bergemat di balik dedaunan yang basah.
Dubrak..
Derap langkahku berhenti tragis, tubuhku mencium jalanan licin. Kuarahkan pandanganku pada keranjang daganganku yang terpental ke tengah jalanan yang sepi. Tiba-tiba mobil datang dari belakang tubuhku.
Tin-tin..
Sontak tubuhku membatu saat ingin mengambil keranjang yang terpental di tengah jalan itu, beruntung selamat dari mobil yang nyaris menabrakku. Aku melihat keranjang daganganku yang kembali terpental ke seberang jalan dengan padamaran yang berhamburan dan kondisi gawaiku yang retak dan basah. Akupun mencoba menghidupkannya tapi tidak berhasil.
Dengan baju yang sudah mengandung debit air yang cukup banyak, aku segera membawa gawai malang itu ke konter yang tak jauh dari rumahku.
“Wah ini sudah rusak parah dek, software dan hardware dari gawai ini tidak bisa diperbaiki lagi,” ungkap Abang konter itu.
“Yah Bang, apa bener-bener tidak bisa diperbaiki lagi, coba lihat-lihat lagi Bang,” sahutku paksa.
“Ini sudah rusak parah dek. Apalagi sudah basah gini. Sebaiknya beli baru saja. Ini gawainya.”
Abang konter itupun mengembalikan gawaiku, dengan keremukan hati yang mendalam aku membawanya pulang, sembari memikirkan apa yang harus aku katakan pada Ayah, untuk membeli pulsa saja masih sering kekurangan. Bagaimana bisa aku meminta beli gawai baru. Padahal, disituasi pandemi ini gawailah satu-satunya media untuk proses pembelajaran.
“Nyimas, kamu dari mana saja Nak, dari tadi Ayah tungguin kamu. Kamu kenapa basah kuyup gini? Dan ngapain kamu bawa keranjang kosong begitu nak?” sergah tanya Ayah cemas.
“Maafin Nyimas Yah, Nyimas nggak dengerin Ayah. Sebenarnya hari ini Nyimas tetap berjualan, tadi saat ayah di kebun Nyimas beli bahan kue dengan tabungan Nyimas dan tetap membuat padamaran hari ini,” pungkasku tersedu-sedu.
“Kenapa kamu menangis sayang?”
“Ayah tadi Nyimas hampir tertabrak, berkat Tuhan Nyimas selamat. Tapi gawai Nyimas rusak, keranjang isi padamaran dan gawai Nyimas tadi tertabrak mobil Yah. Maafin Nyimas ya Yah.”
Rasa bersalah terus membekap pikiranku, membisikkan pesan kecemasan pada hati, dan melumpuhkan syaraf di sekujur tubuhku saat mendekap tubuh Ayah.
“Apa, jadi gawai kakak rusak? Kok bisa sih kak ceroboh banget. Terus kakak mau minta beli gawai baru sama Ayah? Kakak nyusahin Ayah saja, sudah tau Ayah sudah tidak bekerja di kantor lagi,” sela Kemas melabrakku.
Seketika kalimat itu menghantam semua persendian dalam tubuhku, melumpuhkan sel-sel darah. Untuk sekian kalinya aku terpental menolak gravitasi bumi Tuhan ini.
“Kurang ajar, teganya kamu bicara seperti ini dengan kakakmu dek, seharusnya kamu yang bantu Ayah cari uang, karena kamu anak laki-laki.”
Dengan gusar aku meninggalkan Ayah dan Kemas. Aku merebahkan badan di atas single bed bersama tangisan yang menyeruak, kucoba membuang semua kepedihan yang menghambat deru napasku, menggores tapak-tapak harapanku. Aku mencoba melawaan terpaan kerikil dengan segenap ketegaranku. Tapi tetap saja aku merasa lemas, cemas dan prasangka negatif yang liar terus bertambah. Menerka tragedi buruk yang akan terus terjadi di masa pandemi.
“Berapa umur Corona?” tanya kata hatiku tersayat.
Oleh : Vina Apriani
(WN)