Nayanika: Kebebasan Milik Siapa?

Semilir angin yang khas sehabis hujan subuh tadi sedikit menenangkan hawa panas dalam dirinya. Dalam kehampaan, kakinya menyusuri jalan setapak menuju tumpukan kertas lusuh—sebagian merupakan buku yang dibelinya sampai menabung berbulan-bulan. Tatapannya menerawang. Mengingat janji-janji manis yang saat ini menjadi bumerang yang menggilasnya.

Bullshit! Pembohong licik! Rubah! Ular!—” Rasanya lidah itu kini mencecap pahit yang menusuk. Membuatnya bungkam seketika. Kata-kata itu mengambang—tak di udara, tak di ujung lidah. Hilang begitu saja.

“NAYANIKA!”

Ternyata, gelenyar suara itu penyebabnya. Tubuhnya seolah terprogram sebagai detektor dari musuh. Musuh laiknya jailangkung. Tapi, tidak membunuhnya dengan jampi-jampi.

“Ngapain masih berdiri di sana?! Cepat berangkat! Waktu berputar bukan cuma sama kamu!”

Suara itu seperti kaset rusak. Tidak di pikiran, tidak di telinga, sama-sama buruknya. Melebihi dengungan lebah.

Nayanika, begitulah nama indah itu tersemat pada dirinya. Tapi, itu dulu. Nama indah itu hanya berlangsung empat tahun sejak dia dilahirkan. Selebihnya, nama itu seperti bencana. Memorak-porandakan imajiner kecilnya tentang dongeng putri Rapunzel. Terkurung dalam kastel, hingga berharap seseorang merongrongnya untuk melawan sang Mama.

Kakinya berbalik. Sudah cukup menyaksikan impian kecilnya musnah. Kini, saatnya menghadapi deposit yang harus dia keluarkan. Dia bukan bank, tapi orang tuanya telah memprogramnya demikian. Menginvestasikan berlembar-lembar uang seperti aliran sungai Niagara.

Pukul setengah sembilan pagi, kaki yang telah terbungkus sepatu jebolan merek ternama menjejak di pelataran gedung bercat biru yang cerah. Hangat mentari tidak membuatnya bersemangat memasuki gedung dengan tinggi lima lantai di hadapannya. Malah, terlalu malas.

“Pagi, Aya.” Senyum-senyum palsu menyapanya. Persis, seperti yang dia duga, mereka tidak sepenuh hati mengeluarkan sapaan itu. Sekadar, basa-basi yang terlalu basi untuk dibalas.

Kakinya terus melangkah, memasuki lift, dan sampai di depan ruang kelasnya dia melenggang masuk tanpa melihat sang ketua kelas sedang yang bicara di depan kelas. Juga tatapan-tatapan sinis dari sekian banyak pasang mata. Dia tidak peduli. Duduk di kursinya dengan anggun, mengeluarkan buku dari tas kecilnya yang bersih dari coretan barang setitik.

“Apa?” Matanya menyalak pada siapa pun yang memandanginya.

“Jadi, seperti yang sudah disepakati, kita bakal bagi dalam lima kelompok. Pembagian kelompok supaya adil, pakai sistem voting—”

Dia muak. Terlalu muak, malah. Semua pembicaraan itu, semua kefokusan itu—ah, dan satu orang yang berdiri didepan sana—mengatur bagai penguasa gila hormat. Barangkali, bisa lebih.

“Silakan, Nona Konglo yang terakhir mengambil suara.” Suara itu mengintervensi imajinya yang terbang bebas. Nayanika mendengus. Bukan dengusan seperti hewan berkaki empat yang suka berenang dalam lumpur. Melainkan, dengusan atas refleks tubuhnya yang terganggu.Sudah berapa jauh dia mengembara alam imajinya? Sampai-sampai dirinya yang terakhir disebut. Atau, mereka sengaja? Otaknya malas menerka. Maka, atas dasar terpaksa dia angkat bicara.

“Terserah.” Satu kata. Terlalu singkat, padat, dan tidak jelas.

“Oi, masih niat ada di kelas ini nggak? Jawab yang benar, dong.” Itu dia. Satu manusia menyalaknya tajam. Dukungan-dukungan tak kasat mata mulai dirasainya. Mereka menyerangnya dengan tatapan, penuh intimidasi.

Sudut bibirnya terangkat, singkat. “Kalau mau mengusir juga boleh. Asal—” Suaranya menggantung. “—tau diri dan berani.”

Semua terdiam. Seolah cucuk di hidung Nayanika berpindah pada mereka. Membuat bungkam dan tidak bisa berbuat apa-apa.

“Nggak ada—” Sebelah alisnya terangkat, menantang. “—yang berani, nih?”

Ketika semua masih bungkam. Tawanya menyembur, seperti gunung api yang telah penuh oleh lava dalam dapur magmanya. Semua orang tidak akan percaya bahwa Nayanika yang sedang menyembur laiknya gunung api aktif adalah sebuah fiktif. Dia tidak lebih dari gunung mati yang telah padam ratusan juta tahun, mungkin lebih.

“Punya masalah hidup apa sih kamu?”

Semburan lava itu berhenti. Kini, netra abunya menatap sang pemilik suara. Sang ketua kelas. Mungkin, dia bosan melihat gunung mati yang sok menjadi gunung aktif.

“Masalahku?” Nayanika terdiam. “Masalahku cuma satu. Terlalu kaya.” Menusuk. Persis, jarum suntik yang di lempar asal dan mengenai apa pun di hadapannya.

“Sok banget!”

“Kaya aja bangga!”

“Beli tuh gedung presiden.”

Gunung mati itu terdiam. Cacian mereka tidak pernah dia pedulikan. Anggap saja seperti orang-orang yang menyembah sebuah gunung mati dan berharap gunung itu memberikan mereka kehidupan. Mustahil.

Kakinya tidak lagi bisa diam. Dia bangkit. Berdiri dengan tegap—persis seperti yang selalu Mamanya bilang—lantas berlalu pergi dari neraka keduanya. Seharusnya, dia sedikit merasa bebas. Nyatanya, tidak. Belenggu itu masih mengikatnya. Mencucuk hidungnya puluhan tahun hingga kepasrahan yang bisa dilihatnya. Tidak ada kebebasan.

Nayanika berlari ke toilet wanita. Masuk dalam bilik dan menguncinya rapat-rapat. Kemudian, suara tangisan saling beradu dengan keheningan yang mencekam. Dia benci dirinya yang lemah. Dia benci dirinya yang pasrah. Dia benci orang tuanya yang seorang pemerah. Dia bukan sapi. Bukan pula bank. Dia hanya butuh kebebasan. Kebebasan atas hidupnya, atas pilihannya, juga atas mimpinya. Menjadi Rapunzel tidaklah menyenangkan. Dia mulai benci dongengnya sendiri.

“Halo, ada orang? Aku cuma mau numpang pipis. Jangan ganggu, ya. Nangisaja, nggak apa-apa.”

Nayanika membekam mulutnya. Seseorang tidak boleh melihatnya lemah, apalagi sampai menangis.

Suara bilik terbuka. Kemudian, suara keran dari flush menyusul. Lalu, hening kembali.

“Nayanika, ya?”

Dia tak menyahut.

“Kenalin aku Gaia. Nayanikanggak apa-apa kalau masih mau nangis. Aku nggak bakal ganggu.”

“Ke—kenapa bisa tahu?” Suaranya bergetar.

“Nayanika, ya? Padahal, aku cuma nebak. Soalnya, tadi sebelum ke sini aku lihat Nayanika lari. Nggakkusangka, bakal masuk toilet benaran.” Gaiaterkekeh pelan. Merasa bangga atas tebakannya.

Nayanika tebak Gaia adalah gadis yang ramah dan ceria. Suaranya telah mendeskripsikan segalanya.

“Kenapa Nayanikanangis?”

Nayanika diam. Memangnya, apa yang harus dia katakan saat begitu banyak hal telah membuatnya menangis?

“Pertanyaanku aneh. Jelas manusia nangis kalau merasa sedih. Orang kaya bisa sedih juga ternyata.” Gaia terkikik. “Jangan tersinggung. Masalahnya, kamu punya segalanya. Tinggal sebut, barang apa pun langsung ada depan mata.”

“Masalahnya karena aku punya segalanya?” Nayanika bergumam. Menertawai dirinya sendiri. Itulah masalahnya, dia memiliki segalanya. Pengecualian untuk kebebasan. Dia belum pernah merasakan itu sejak empat belas tahun yang lalu. Kebebasan terlalu mahal untuk ditebus dengan uang.

“Nayanika kenapa sedih?” Lagi. Pertanyaan itu seperti bumerang baginya. Terlalu banyak yang membuatnya sedih.

“Banyak. Terlalu—rumit.”

“Serumit apa?”

“Pernah liat benang yang tersusun rapi di rak?”

“Ehem.” Gaia mengangguk.

“Rapi, kan? Sayangnya, aku bukan bagian benang itu. Tapi, benang yang sudah dipintal untuk menjadi kain. Kain yang cantik dan sempurna. Bentukku sudah carut-marut.”

“Berat, ya?”

“Menjadi kaya?”

“Menjadi benang carut-marut?”

“Sa-ngat.”

“Kenapa nggak melawan?”

“Hah?”

“Nayanika takut nggak bisa bermetamorfosis jadi kain yang cantik dan sempurna?”

“Bukan takut. Tapi-tapi, aku nggak sanggup.” Tangisnya kembali pecah.

“Kenapa nggak melawan?”

Dia menggeleng berulang kali di antara tangisnya.

“Nayanika harusnya melawan. Nayanika itu spesial. Nayanika itu tidak butuh menjadi kain yang sempurna. Karena kesempurnaan Nayanika itu adalah Nayanika sendiri. Jangan berharap pada dongeng tak bertuah. Nayanika jauh lebih baik jika percaya diri—”

Stop! Cukup!” Disekanya jejak air mata di pipi dengan kasar.

“Nayanika—”

“Aku nggak butuh nasihat. Atau, saran apa pun. Hidupku udah cukup sulit. Jangan tambah dengan petuah-petuah basi.”

“Nayanikanggak butuh nasihat karena Nayanika butuh aksi. Nayanikanggak butuh saran karena Nayanika butuh aksi. Aksi dengan melawan.”

“Melawan yang seperti apa, hah? Mereka udahmemprogramku. Sejak dalam kandungan, sejak lahir, sejak aku diperkenalkan dunia. Apalagi? Mereka udah buat aku seperti sapi, memerahku. Mereka udah buat aku bank, deposit yang menyimpan ‘kehormatan’. Apalagi?”

Hening. Napas Nayanika naik turun. Dadanya sesak. Tepat di sebelah kanan, jantungnya.

“Dari kecil, aku udah masuk les. Les musik, les sains, buat apa? Aku nggaktau. Katanya, kalau aku dapat nilai sempurna, Mama dan Papa akan bangga. Aku nggak pernah protes karena hal itu. Lulus SD aku kembali masuk les pengkhususan, matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin—buat apa?

“Mereka bilang Mama dan Papa bakal bangga. Semakin jauh, aku mikir, apa cuma kebanggaan yang mereka harapkan? Apa keluh kesahku tidak mereka pikirkan? Sampai, suatu hari, aku protes untuk pertama kalinya. Mereka marah. Mencaci, menyebutku anak tidak diuntung, memberiku hukuman.”

“Nayanika—”

“Aku-aku merasa nggak berkuasa atas diriku sendiri. Mereka sudah memprogram tubuh ini.”

“Jiwa Nayanika masih bebas. Harus diperjuangkan.”

“Nggak ada perjuangan. Yang ada hanya penjara. Aku tahanan yang terpenjara oleh orang tua sendiri. Jangan merasa iba. Aku tahu posisiku.”

“Nayanika, artinya mata yang memancar dengan indah. Jangan redup. Nayanika itu matahari.”

Nayanika tertawa. Matahari terlalu bebas untuk dirinya. Matahari terlalu bersinar untuknya. Matahari terlalu sempurna bagi sosoknya. Tidak ada pengandaian yang pantas.

“Nayanika bahagia?”

“Pertanyaanmu hanya mutar-mutar tanpa ujung, Gaia. Aku bosan.”

Nayanika pikir, Gaia adalah rong-rongan yang bisa memberinya kekuatan untuk melawan. Nyatanya, tidak. Dia membutuhkan rong-rongan yang lebih kuat. Menguatkan hatinya.

“Nayanika tidak bahagia. Coba sekali saja belajar menerima.”

Nayanika mendengus. Lantas, buru-buru beranjak. Langkahnya terhenti di depan salah satu bilik. Apakah Gaia masih ada di dalam? Benaknya bertanya penasaran.

“Gaia,” panggilnya.Tidak ada sahutan. Atau, mungkin Gaia telah pergi lebih dulu. Tetapi, bukankah itu aneh. Bagaimana bisa dia pergi secepat itu?

Pintu bilik disebelahnya terbuka. Seorang gadis menatapnya aneh. Karena dia sensitif terhadap semua tatapan manusia, Nayanika memberikan pelototan tajam.

“Apa lihat-lihat?”

“Selain kaya, kamu juga gila ternyata.” Gadis itu tersenyum sinis.

“Maksud kamu apa, hah?”

“Ngomong sendiri sambil nangis-nangis. Menyedihkan banget sih hidupmu.”

Nayanika mengerjap. Dia buka pintu bilik—yang seharusnya ada Gaia di sana. Namun, nihil. Tidak ada siapa pun. Bahkan, jejak orang yang sehabis menggunakan kakus pun tidak ada.

“Siapa yang kamu cari, Aya? Dari tadi kamu bicara sendiri. Lebih baik kamu periksa ke psikiater. Siapa tau kegilaanmu udahnggak tertolong.” Gadis itu tertawa dan meninggalkan Nayanika yang terpaku.

Apa-apaan ini? Nayanika merasa seperti dipermainkan. Dia tidak gila hingga berbicara sendiri. Dia sungguhan sedang bicara dengan Gaia tadi.

Saat itulah suara Gaia muncul di dalam kepalanya. Bukankah dia membutuhkan rong-rongan untuk melawan? Maka inilah jawabannya. Gaia hadir di dalam dirinya. Nayanika rasa, semua perkataan Gaia ada benarnya. Dia akan melawan walaupun langkahnya telah mati lebih dulu.

 

Oleh: Dian Puspitasari

(Wanti)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here