Kembali Bertasbih

“Ayah hanya punya seorang putri Ibu, jadi Salma tidak mau terima kain pelangkah ini, bukan urusan Salma kalau ia ingin menikah.”

Untuk sekian kalinya aku terpental menolak gravitasi bumi Tuhan ini. Aku selalu merasakan hantaman persendian dalam tubuh yang melumpuhkan sel-sel darah, saat mengangkut nama Ayah sabagai bahan pembicaraannya. Ditambah lagi dengan kabar ini, tak dapat kuhitung berapa sebanarnya usiaku, mendapati Alex berumur jauh lebih muda dariku memutuskan untuk menikah.

“Kenapa kamu masih saja membenci Alex sayang? Dia itu sudah menjadi saudara kamu juga.”

“Buk sampai kapan pun Salma tidak akan pernah menganggap Alex atau ibunya itu sebagai bagaian dari keluarga kita.”

Dengan gusar aku meninggalkan Ibu yang membatu di sofa favorit keluarga bahagiaku dulu. Derap langkah membumi deras meniti satu persatu anak tangga menuju kamar. Aku merebahkan badan di atas single bed bersama tangisan yang menyeruak, kucoba membuang semua kepedihan yang menghambat deru napasku, menggores tapak-tapak harapanku. Aku mencoba melawaan terpaan kerikil dengan segenap ketegaranku.

Ngilu dihatiku belum lagi reda dan darahku lagi berdesir lebih cepat menuju ke otak, mendapati Ibu yang berdiri lemas di balik pintu kamarku dengan raung tangisan.

“Ayah nak, Ayah masuk rumah sakit dan keadaannya kritis sayang.”

Kupicingkan mata dari hadapan Ibu, setelah kurasakan kalimat yang dilontarkannya merobek semua duka hatiku yang menganga perih. Tanpa menolak ajakan Ibu, kamipun bergegas kerumah sakit, kujumpai Alex dan ibunya yang membuat aku merasakan suhu di koridor rumah sakit ini naik menjadi 45o C.

“Bagaimana kondisi suami saya dok?” sergah ibu Alex menghampiri laki-laki berjas lap itu.

“Kondisi profesor sangat buruk bu, jantungnya semakin lemah. Kami akan terus memantau keadaan beliau. Oia sedari pemeriksaan tadi beliau terus memanggil nama Salma. Sebaiknya segera Salma menemui prof.”

“Salma tidak mau,” sambarku ketus.

“Salma, kamu ini bicara apa nak, Ayah ingin bertemu putrinya,” ulas Ibu merayuku.

Kata putrinya yang dilontarkan Ibu seakan membius kebencianku terhadap Ayah. Panggilan itu sangat kurindukan setalah lebih dari dua puluh tahun tidak menggema kudengar.

Dengan langkah gontai kujamah daun pintu ruang rawat Ayah. Betapa pilunya menyaksikan selang melilit tubuh Ayah, dan aku hampir tidak mengenali perubahan wajah Ayah yang ditumbuhi janggut lebat di dagunya.

“Salma, putriku. Ayah sangat rindu kepadamu.”

Aku semakin tak kuasa menahan derai air mata yang sedari tadi kubendung, panggilan itu membuatku benar tidak berdaya untuk membenci. kuraih telapak Ayah dan kucium dengan penuh kasih sayang dan kerinduan yang selama ini terpendam.

“Salma, Ayah ingin jadi wali nikah kamu,” pinta Ayah tiba-tiba.

Seketika aku berhenti dari isak sendu. Aku menatap wajah Ayah yang mengingatkan peristiwa pilu itu. Aku bangkit dari tempat duduk dan segera meninggalkan Ayah.

“Nak, kenapa kamu masih saja membeci Ayah? Kenapa kamu masih saja tidak bisa menerima kenyataan ini?” lirih Ibu dari belakang menyusulku keluar ruangan.

“Salma hanya tidak habis pikir Ibu, kenapa laki-laki itu meminta Salma untuk menikah padahal dialah alasan Salma sampai diusia ini tidak ingin menikah,” jawabku ketus.

“Salma, jodoh, maut dan rezeki itu Allah yang sudah menetapkan. Kita tidak bisa mengatur hal yang berada diluar kekuasaan kita nak. Jadi kamu kabulkan permintaan Ayah ya nak.” Sambung Ibu seraya membelai pundakku.

“Ibu  jangan paksa Salma, Salma bilang tidak ya tidak.”

Pembicaraan pun terhenti. Kami saling larut dalam pikiran masiang-masing, mengeja dan membaca jalan pikiran sendiri. Aku membiarkan kebencian yang memang di ujung tanduk  kian menajam.

Tetttt… tettt

Suara bel itu memecahkan keheninganku dan Ibu. Dua perawat dan dokter berlari keruangan Abi, begitu pun Ibu meninggalkan aku yang masih terdiam di kursi tunggu seraya mengusap sudut mataku dengan telunjuk kiri yang kutekuk.

“Kamu Salma?” tanya laki-laki berkaus lusuh, menghampiriku dari balik pintu ruang rawat Ayah.

“Anda siapa? Kenapa bisa ada diruangan Ayah saya,” lirihku ketus.

“Tidak ada waktu untuk perkenalan, profesor sudah sangat kritis, beliau ingin segera bertemu denganmu.” laki-laki itupun menarik tanganku menuju ruangan Ayah.

Sesampai di ruangan kudapati semua orang menangis hebat, pikiranku tak karuan melihat kondisi Ayah saat itu, takut kehilangan telah memecahkan keegoisanku.

“Ayah.” Tangisanku pecah seraya meraih tubuh Ayah yang tidak memperdulikan selang pernapasan yang membalut di tubuhnya.

“Menikahlah dengan Ali, Salma. Dia laki-laki yang baik, Ayah hanya ingin menjadi wali di pernikahan satu-satunya putri kandung Ayah,” lirih Ayah putus-putus.

Aku mengalihkan pandanganku menghadap laki-laki berkaus lusuh itu, kudapati raut wajahnya yang terkejut mendengar permintaan Ayah memelas.

“Bagaimana bisa? Saya kan sudah,” lirih Ali terpotong

“Bisa, Ali pasti bisa Yah. Dan Salma juga akan wujudkan permintaan Ayah ini,” sambar Ibu sambil menatap wajah Ali yang mencoba meyakinkannya.

Ali pun terdiam seribu bahasa, seakaan dia tahu apa yang ingin disampaikan dari tatapan Ibu. Mereka menyembunyikan sesuatu, aku dapat membacanya. Tapi aku tak segera mencari tahu.

“Tapi Saya tidak bisa memeberikan mahar yang pantas untuk meminang putri seorang dokter bu.” jelasnya menunduk.

Benar saja penilaianku terhadap penampilan Ali sedari tadi, serba kekurangan yang hanya terdefenisi dari sosoknya, aku tidak habis pikir kenapa Ayah ingin aku dinikahi dengan orang seperti dia.

“Saya yakin pilihan profesor adalah yang terbaik untuk putri saya Salma. Kamu tidak perlu memikirkan tradisi sinamot yang berlaku di daerah kita nak. Berilah apapun yang kamu punya sekarang, maka itu sudah sangat tinggi nilainya sebagai sebuah mahar,” jawab Ibu yakin.

Di detik-detik terakhir denyut jantung Ayah, lantunan surat Ar-rahman terdengar merdu keluar dari mulut Ali yang menjadi mahar pernikahanku. Sejak lantunan surah yang terdengar kukuh itu dikumandangkan seketika aku jatuh cinta, dia benar orang baik dan soleh.

Kalimat ijab kabul pun mengantarkan kepergian Ayah, bersautan dengan isak tangis yang ricuh diruangan itu.

Kebencianku pada Ayah seakan terkubur bersama jasadnya, kini hanya penyesalan yang membumbui hatiku yang terisi Ali.

Ali seolah tidak ingin menyakiti hatiku yang kini menjadi istrinya. Setelah pulang dari pemakaman Ali. Ali membawaku kerumah sakit tempat Ayahku bekerja. Disana aku dipertemukan dengan perempuan terbaring lemas lengkap dengan infus dan elektrokardiogram.

“Dia siapa mas? Apa dia adikmu?” tanyaku menatap Ali.

“Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku ingin kamu memaafkan diriku yang tak berniat sama sekali menyakiti dirimu,” ucapnya lembut penuh penyesalan.

“Ada apa? bicaralah,” jawabku seadanya dengan kecurigaan

“Salma perempuan yang saat ini kamu lihat adalah orang yang selama ini berhutang nyawa atas kemurahan hati Profesor.”

“Maksud kamu apa mas?” tanyaku bingung.

“Dia istriku Salma, namanya Fatimah. Dialah perempuan yang mengizinkan profesor memintaku untuk menikahimu. Karena ia merasa tidak bisa lagi membersamaiku dan membahagiakan aku. hidupnya hanya bergantung selang infus itu.”

Pengakuan Ali saat itu membuatku tidak rela berdamai dengan hatiku sendiri perihal cinta. Sosok Ayah yang belakangan sangat kubenci, ternyata membuat sadar dengan hina aku menilai sebuah cinta.

Tentang Ibu yang merelakan Ayah untuk menikahi janda yang ingin mengakhiri hidup karena mengandung anak di luar nikah, serta Fatimah yang merelakan Ali cinta hidupnya agar tetap bisa bahagia walaupun tidak bersamanya.

“Mas tidak apa-apa, aku rela menjadi istri keduamu dan izinkan aku kembali bertasbih atas nama cinta.”

Oleh: Ana Ukhti

(Wanti)

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here