“Ini bukan cerita yang luar biasa, hanya kisah tentang seseorang yang memiliki cinta yang luar biasa.”
Setiap orang memiliki kekuatan untuk mencintai, tapi percayalah tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mencintai dalam diam laiknya Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fatimah.
Dulu, pernah ada seorang laki-laki yang begitu mengagumi kisah Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fatimah. Laki-laki itu laiknya seorang lelaki biasa, dia merasakan cinta seperti insan lainnya. Hal yang membedakan cinta laki-laki ini adalah dia tidak mengungkapkannya kepada orang yang ia cintai. la menyimpannya dalam-dalam; tak mengungkapkannya, tak memperlihatkannya, ia menyimpan semua rasa cinta di dalam hatinya. la begitu mengagumi kisah Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fatimah, ia percaya jika ia bisa menjaga cintanya sampai waktu yang tepat, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan mendatangkan cinta itu kepadanya.
Namun, suatu hari ia jatuh terduduk, kakinya tak sanggup menopang beban tubuhnya. la melihat orang yang diam-diam ia cintai telah menikah meninggalkan dirinya. la merasa marah dan kecewa, ia merasa menyesal telah mengagumi kisah Sayyidina Ali dan Sayyidatina Fatimah. Dirinya dipenuhi dengan kekesalan dan kemarahan yang begitu mendalam. Entah sudah berapa lama dia menghabiskan waktunya hanya untuk mencintai wanita yang tak mencintainya, dia bertanya-tanya “Untuk apa aku mengagumi kisah mereka? Apa yang kudapatkan?” lirih suara hatinya.
Dia terus menyesali apa yang sudah dilakukannya, hingga akhirnya ia tertidur dan bermimpi. Di dalam mimpinya ia bertemu dengan seseorang laki-laki berbaju putih, perawakannya persis seperti dirinya, hanya saja wajahnya tertutupi oleh sebentuk cahaya. Tentu saja ia merasa heran, entah bagaimana ia yakin bahwa dirinya sedang bermimpi, tapi ia merasa bahwa semuanya terasa begitu nyata.
Tak lama setelah itu, ia terheran-heran ketika lelaki berbaju putih itu berkata, “Bagaimana menurutmu? Apa kau menyesal mengagumi mereka berdua?” la terkejut, namun ia merasa akrab dengan laki-laki berbaju putih itu, seakan-akan ia telah lama mengenalnya.
“Tentu saja aku menyesal, untuk apa aku mengagumi mereka? Mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, aku merasa bodoh sekarang.”
“Hei, apa yang membedakan dirimu dengan Sayyidina Ali?” Tak sempat ia menjawab, laki-laki berbaju putih melanjutkan, namun kali ini laki-laki itu terlihat sedikit marah. “Kau terlalu sibuk mengurus orang yang kau cintai, tapi kau lupa kepada siapa yang telah menciptakan cinta itu sendiri, kau terlena oleh urusan cinta hingga kau lupa kepada-Nya, itulah yang membedakan dirimu dengan Sayyidina Ali.”
la terkejut mendengar laki-laki berbaju putih itu marah kepadanya, tetapi ia sadar akan kesalahannya. Tanpa sadar ia menitikkan air mata, ia menangis dengan begitu pilu. Dia berpikir bagaimana mungkin ia lalai kepada-Nya hanya karena cinta yang semu.
“Aku harus bagaimana? Apa aku harus melupakannya? Apa yang harus kuperbuat?” Sesenggukan ia melontarkan pertanyaan ini.
Laki-laki berbaju putih itu tersenyum seraya berkata, “Teman, bertobatlah dan kembalilah kepada-Nya, utarakan semua keluh kesahmu kepada-Nya karena Dia adalah sebaik-baik pendengar. Kau tak harus melupakan semua ini, walau begitu menyakitkan. Kenapa harus dilupakan jika itu bisa dijadikan pengalaman yang berharga.”
Perlahan cahaya yang menutupi wajah laki-laki berbaju putih itu menghilang sehingga ia bisa melihat wajahnya. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat laki-laki berbaju putih itu adalah dirinya. Laki-laki itu tersenyum dan perlahan menghilang, ia pun terbangun dari mimpinya. la sekarang tahu bahwa laki-laki itu adalah dirinya. Lebih tepatnya “suara hatinya”.
Oleh: Alan Syah Ramadhan
(WN)