Perhutanan Sosial: Antitesis Paradigma Pengelolaan Hutan Konvensional

0
1854
Lasekti Wicaksono, Dosen Fakultas Ketuhanan Universitas Jambi.

PerhutananSosial (PS) didefinisikan dalam Permen LHK No. 83/2016 sebagai system pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan Negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hokum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika social budaya dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Rakyat, Hutan Adat, danKemitraan Kehutanan.

Kebijakan perhutanan sosial di Indonesia pada dasarnya terlahir dari proses sejarah yang panjang.Kebijakan ini terilhami dari perubahan paradigma (carapandang) masyarakat global dalam mengelola hutan secara konvensional (timber extraction & timber management) yang cenderung melihat hutan semata-mata hanyalah kayu dan habitat bagi fauna dengan menegasikan keberadaan masyarakat sekitar atau dalam hutan yang hidup, berinteraksi dan bergantung terhadap eksisten sihutan sebagai satu kesatuan ekosistem yang tidak terpisahkan. Paradigma lama yang berujung pada kerusakan hutan dan pemiskinan structural masyarakat sekitar hutan.

Wacana paradigm social forestry (perhutanan sosial) di Indonesia muncul sebagai wujud perlawanan terhadap pemerintah (orde baru) yang kala itu mengesampingkan keberadaan masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan dan cenderung berpihak kepada pemodal (asing & dalam negeri) untuk mengelola (mengeksploitasi) hutan dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Awang (2004) menyatakan bahwa selama orde baru berkuasa sekitar 64 juta ha kawasan HPH dikuasai oleh segelintir (sekitar 20 orang) konglomerat yang dekat dengan pejabat pemerintah. Masyarakat yang semula berinteraksi dan menggantungkan hidup nya kepada hutan terpaksa harus terusir dari rumah (hutan) mereka. Tindakan pemanfaatan yang merekalakukan dianggap illegal hanya karena tiadanya kapital yang bias diberikan kepada Negara sebagai penguasa tunggal sumber daya alam hutan di Indonesia.

Era Reformasi dan masuknya Indonesia dalam atmosfer demokrasi merupakan momentum besar bagi perkembangan wacana perhutanan sosial. Ibarat biji di tanah kering yang mulai bertunas saat hujan mulai datang.Gelombang keadilan dan kesejahteraan social dalam pengelolaan hutan semakin menguat di level lokal (didukung dengan semangat desentralisasi). Namun, yang menjadi pertanyaan adalah sudah hamper menginjak 20 tahun momentum reformasi berlalu apakah paradigm perhutanan social masih sekedar menjadi jargon politik penarik massa, sebatas program janji manis? Ataukah dibawah kepemimpinan presiden rimbawan yang dikenal (dicitrakan) merakyat ini menjadi momentum kedua bagi menguatnya perspektif perhutanan sosial yang berpihak pada keadilan dan kesejahteraan sosial?

Jokowi, Nawacita, dan Semangat Perhutanan Sosial

Target implementasi program perhutanan social oleh pemerintah saat ini dapat dikatakan luar biasa. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan & Kehutanan (KLHK) padaperiode 2015-2019 menargetkan 12,7 juta ha kawasan hutan dikelola oleh masyarakat melalui skema HD, HKm, HTR, Hutan Adat, dan Kemitraan.

Implementasi program perhutanan sosial merupakan bagian dari program Nawacita Presiden Jokowi. Target implementasi program tersebut adalah mensejahterakan 10,2 juta masyarakat prasejahtera di dalam kawasan hutan yang belum memiliki aspek legal terhadap sumber daya hutan melalui pemberian akses dan dukungan terhadap pertumbuhan sektor-sektor perekonomian lokal. Lebih lanjut lagi, implementasi program ini diharapkan juga berdampak dalam meminimalisir konflik tenurial yang selama ini terjadi di tingkat tapak akibat adanya tumpang-tindih perizinan dan perbedaan klaim pengelolaan kawasan hutan.Terlepas dari tujuan-tujuan tersebut seberapa besar kesungguhan pemerintah dalam implementasi kebijakan perhutanan sosial, menunjukkan dimana posisi keberpihakan pemerintah, apakah lebih besar kepada masyarakat? Atau masih kepada pemilik modal?

Realita (Implementasi) Kebijakan Perhutanan Sosial

Masih jauh panggang dari api. Peribahasa tersebut (lagi-lagi) relevan dengan implementasi kebijakan perhutanan sosial di Indonesia. Dikutip dari situs berita daring Mongabay 26 Januari 2017, secara agregat capaian hutan untuk kelola masyarakat baik melalui skema HKm, HD, HTR, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan lain-lain baru mencapai 494.876 Ha (9,74%) dari target 2016 sebesar 5,08 juta ha. Data tersebut baru berbicara kuantitas capaian luasan areal perhutanan sosial, belum lagi kualitas pengelolaan kawasan yang telah dikeluarkan izin pengelolaannya. Masyarakat dinilai masih sangat memerlukan dampingan dalam penyusunan rencana pengelolaannya, skema pendanaan, hingga jaringan pemasarannya.

Kebijakan perhutanan social hakikatnya berbicara tentang akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Akses sebagai kemampuan (ability) mengambil manfaat dari sesuatu (hutan) dan lebih condong kepada power, ketimbang sekedar legalitas klaim atas hak (right) kelola. Ribot&Peluso (2003) menyatakan bahwa kunci pembeda antara akses (access) dan properti (property) terletak pada ability dan right.

Terlepas dari perdebatan diatas, saya cenderung memandang bahwa akses dan right bukanlah sesuatu yang dipertentangkan, melainkan sebuah tahapan yang harus dijalankan berimbang. Antara capaian kuantitas pengeluaran izin kelola dengan pengkapasitasan sumberdaya manusia pengelolanya. Perpaduan keduanya memerlukan proses panjang dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu salah satu (bukan satu-satunya) indikator sederhana untuk melihat seberapa jauh keberpihakan pemerintah dalam implementasi program adalah seberapa besar anggaran yang dialokasikan untuk merealisasikannya.

Dikutip dari situs berita online CNN Indonesia 25 Januari 2017, Indonesian Corruption Watch (ICW) menyebutkan bahwa terjadi penurunan alokasi anggaran untuk implementasi perhutanan sosial, dari Rp 308,12 M di tahun 2015 menjadi 165,17 M untuk tahun 2017 (turun 46,4%) padahal anggaran keseluruhan KLHK periode 2015-2017 naik sebesar 0,17 T. Sekali lagi, meskipun bukan satu-satunya factor penentu keberhasilan implementasi kebijakan perhutanans osial, namun dukungan ketersediaan dana menjadi penting agar target capaian tidak terkesan ambisius. Mengingat dalam proses implementasi perhutanan social sering kali berhadapan dengan areal yang luas, dengan akses abilitas yang susah, belum lagi ketika harus berhadapan dengan konflik klaim tata batas yang rumit, serta upaya penguatan kelembagaan maupun basis ekonomi masyarakat sekitar utan yang memerlukan waktu, dan tenaga yang relatif besar.

Dalam hal ini perlu adanya political will yang lebih kuat dari Jokowi sebagai presiden rimbawan untuk membuktikan keberpihakannya kepada masyarakat sekitar hutan melalui program perhutanan social bukan hanya sebatas lip service untuk kapitalisasi suara masyarakat kecil dalam ajang kontestasi kekuasaan lima tahunan.

Salam Lestari. Wallahualambishowab

Penulis: Lasekti Wicaksono, Dosen Fakultas Ketuhanan Universitas Jambi

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here