“Burung Gasing” yang Nyaring

Malam kedua Panggung Aktor Sumatera. Panggung dibuka dengan seorang aktris perempuan berpakaian merah, anggun, dan berparas elok mencuri perhatian penonton. Dialah sosok Burung Gasing. Gerak tubuhnya yang gemulai namun pasti, anggun sekaligus kuat, cerdas dan juga menawan. Sosok yang menjadi sentral pementasan dalam lakon “Burung Gasing”, sebuah cerita yang bersumber dari khazanah sastra lisan masyarakat Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Lakon tersebut digarap oleh komunitas Seni Lorong, Riau dalam pertunjukan Panggung Aktor Sumatera dengan tema “Tradisi Lisan dalam Tubuh Aktor”, Taman Budaya Jambi, 15-17 November 2017.

Burung Gasing dalam lakon tersebut merupakan seorang putri raja yang cerdas, pemberani, melawan ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan. Representasi dari sosok tersebut dimunculkan melalui gerak tubuh yang berbasis dari silat sehingga ada kolaborasi antara kekuatan, irama, dan keindahan. Silat sebagai tradisi adalah bagian dari upaya mengonstruksi karakter dan identitas dari mana kisah tersebut berasal. Selain itu, gestur silat juga menghadirkan representasi simbolik atas jati diri sosok Burung Gasing. Seorang perempuan dari kelas bangsawan. Berparas elok dan anggun. Sebuah karakter ‘konvensional’ atau lazim yang cenderung menjadi formula narasi dalam tradisi lisan masyarakat nusantara, khususnya kisah yang berpusat pada istanasentris.

Dalam artian bahwa ‘bekal’ dan konstruksi sosiologis yang melekat dalam diri sosok tersebut menjadi  identitas yang secara psikologis dikomunikasikan kepada penonton. Bisa disimpulkan bahwa dengan adanya “konstruksi” tersebut maka pakem dan konvensi yang melekat terhadap sosok Burung Gasing menjadi penanda dan sekaligus petanda bahwa karakternya berasal dari ranah cerita lisan. Ia bukan manusia biasa dengan strata sosial di atas rata-rata. Ia adalah hero yang menentukan lakon. Problem yang kemudian terjadi adalah sebagai sosok yang dituturkan dalam tradisi lisan dengan sosok yang dimaknai dalam sebuah pertunjukan, efektifkah visualisasi tersebut ditangkap oleh penonton tanpa sebelumnya penonton mendengarkan pembacaan sinopsis? Hal ini kiranya menjadi relatif. Malam itu sebagian penonton sibuk dengan gawai masing-masing sembari sesekali mengabadikan momen-momen yang dirasa istimewa. Fragmen-fragmen yang memukau indra visual direkam dengan bermacam motivasi. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa respon penonton terhadap pertunjukan adalah momental (sesaat). Penonton mengalami keberjarakan dengan konteks, kecuali ekspresi dan visualisasi artistik yang bersifat parsial-subjektif dari gestur, ekspresi, dan tuturan aktor.

Dalam konteks era digital-informasi, konteks momental tersebut menjadi penting untuk dijadikan parameter dalam membaca interaksi antara panggung dengan penonton atau pertunjukan dengan substansi yang dikomunikasikannya. Penonton tidak lagi perlu mencerna atau pusing menginterpretasikan “makna” dari suatu pertunjukan. Cukup dengan mengabadikan momen dalam beberapa fragmen yang dirasa menarik, baik secara visual maupun secara artistik, maka keterlibatan subjek dalam suatu pertunjukan terlegitimasi. Bagi kaum muda atau istilahnya “kids zaman now” kondisi ini adalah realitas yang lazim terjadi. Perkembangan era digital informasi tentu saja dihadapkan pada upaya-upaya transformasi terhadap khazanah kebudayaan yang ada, salah satunya tradisi lisan. Di satu wilayah ia terancam eksistensinya, di wilayah yang lain formula dan strategi diperlukan untuk membentuk ketahanan tradisi di hadapan perkembangan zaman.

Transformasi yang terjadi sebagai bentuk ‘”alih wahana” dari tradisi lisan (tutur) ke pertunjukan sebenarnya menjadi satu upaya eksperimental yang menarik. Mengapa demikian? Kerja interpretasi dalam alih wahana ini tentu saja senantiasa bersinggungan dengan ketegangan antara konvensi dan invensi. Antara pakem yang secara ‘baku’ mentradisi turun–temurun dan tafsir yang senantiasa ‘labil’ dalam dimensi kontekstual kekinian/mutakhir. Kondisi tersebut merupakan isu penting untuk meninjau kembali relasi dan oposisi antara keberlangsungan suatu tradisi dengan regenerasi yang semakin terputus. Jika menilik perkembangan kajian dalam lintas disiplin/interdisipliner, sebagai contoh perkembangan dari sastra ke film yang disebut ekranisasi, maka transformasi yang terjadi dalam wilayah tradisi lisan adalah keniscayaan. Terbukanya ruang-ruang lain sebagai dampak atau efek atas dinamika kebudayaan menunjukkan bahwa kebudayaan senantiasa bergerak secara masif. Kebudayaan bukan sebuah artefak yang kaku dan perwujudannya jasmaniah/material. Ia dengan segala manifestasinya senantiasa berada dalam konstruksi ideal. Ideal di sini lebih dipahami sebagai “tafsir” atau interpretasi yang bersifat simbolik atas nilai-nilai yang kemudian bisa diarahkan melampaui yang material, yaitu spiritual. Kekuatan yang material ini berelasi dengan yang imaterial/spiritual dan mengonstruksi konteks kebudayaan, khususnya tradisi dari zaman ke zaman.

Aktor dalam hal ini diposisikan sebagai bagian dari siklus tradisi yang melembagakan setiap  pengalaman dan ingatan melalui interaksinya dengan kebudayaan. Pengalaman bersentuhan dengan tradisi tutur/lisan diidentifikasi dari bentuk artikulasi (tuturan) untuk selanjutnya dihadirkan menjadi bentuk ekspresi dalam pertunjukan. Perpindahan ini adalah upaya eksplorasi sekaligus eksperimentasi atas tradisi tutur atau lisan yang semakin pudar tergerus zaman. Kekuatan tuturan yang bercorak artikulatif (auditif) dimediasi dengan formula repetisi (pengulangan) sehingga membekas dalam ingatan. Formula inilah yang hadir dalam struktur bentuk tradisi lisan yang terus-menerus direproduksi.

Tantangan aktor adalah memediasi artikulasi (auditif/bunyi) dari formula kelisanan tersebut menjadi ekspresi yang lebih universal (gestur/ketubuhan). Jika mengacu gagasan kebahasaan Saussure, maka artikulasi bisa dikategorikan sebagai parole, dan menjadi sangat labil. Sementara yang universal dan cenderung stabil adalah langue. Langue sebagai ekspresi visual (gerak tubuh) kemudian menjelma sebagai upaya untuk melampaui kekuatan bahasa, melalui komposisi pola-pola, irama, dan kombinasi antara gerak, tutur, dan ekspresi. Lebih tepatnya sebagai simbol/tanda yang memroduksi makna secara universal.

Artikulasi (bunyi) dalam diri aktor bisa terjebak ke dalam wilayah arkaik yang mana bunyi dan tuturan tersebut sangat terbatas dengan konteks. Dalam artian bahwa segmen audiens dalam suatu pertunjukan sangat menentukan keberhasilan “(re)produksi” makna. Alih-alih mengirimkan pesan secara universal melalui ekspresi, justru audiens terjebak dalam fragmentasi yang parsial antara satu bagian dengan bagian yang lain dalam suatu pertunjukan. Aktor dengan demikian memegang peran sentral dalam menghasilkan pesan dan tanda atas tafsir tradisi lisan/tutur yang ditransformasikannya. Kelisanan yang melembaga dalam konstruksi kultural masyarakatnya adalah ekspresi yang senantiasa terbatas dan terus mengalami negosiasi.

Tradisi lisan secara epistemologis masih memberikan ruang untuk dieksplorasi dan diinterpretasikan, khususnya dalam panggung pertunjukan. Upaya menggali kembali warisan pengetahuan tersebut dan menafsirkan ulang merupakan satu bentuk pengakuan terhadap tradisi, identitas, serta kearifan lokal (nilai-norma), di mana perwujudan dan manifestasinya sebagai ‘ruh’ kebudayaan senantiasa dinegosiasikan. Dalam artian, upaya menafsirkan ulang bukan tanpa resiko. Tantangan yang kemudian perlu dihadapi adalah bagaimana pengetahuan yang termanifestasikan dalam wujud kelisanan tersebut mampu menangkap ‘abstraksi’ dari konsep dan nilai identitas dalam tradisi tutur sehingga ‘ruh’ yang menjadi epistemenya terkomunikasikan dengan audiens. Jika mengacu pada pola kecenderungan yang ada, maka upaya menransformasikan tradisi lisan ke dalam pertunjukan (aktor) perlu memperhatikan konteksnya. Kenedi Nurhan menyatakan bahwa harus ada pemisahan konteks, antara tradisi sebagai ritus/ritual dan tradisi sebagai pertunjukan/hiburan. Wilayah pertama lebih mengarah kepada yang sakral sedangkan wilayah kedua lebih kepada yang profan.

Tradisi lisan dalam wilayah nusantara adalah wilayah epistemologis, di mana sistem pengetahuan disebarkan melalui kelisanan yang kuat dan turun–temurun. Tuturan yang memiliki variasi dan ragam dengan demikian bukan sebatas narasi yang bersifat ontologis melainkan ia senantiasa mengacu kepada yang simbolik (spiritual). Melalui yang simbolik inilah, yang material tidak sepenuhnya mutlak sebagai realitas dan kebenaran. Yang simbolik selalu terbuka terhadap perubahan sebab ia mengayomi, mengakomodasi, serta membuka kemungkinan-kemungkinan negosiasi yang tidak terbatas, sehingga selalu berada dalam tegangan antara konvensi dan invensi.

Menyaksikan pertunjukan “Burung Gasing” dengan demikian adalah upaya menransformasi cerita lisan “Burung Gasing” masyarakat Kabupaten Kampar, Riau, sebagai sebuah episteme tentang nilai-nilai kultural yang melembaga dalam tubuh aktor. Kecenderungan karakteristik dari ekspresi, gestur, dan tutur, merupakan kekayaan identitas yang diharapkan hadir menjadi ciri pembeda. Barangkali harapan yang diinginkan oleh aktor di era global ini adalah menemukan formula ‘identitas’ yang secara universal semakin cair dan meleburkan batas-batas. Dengan demikian, tradisi lisan melalui tuturan yang khas berupaya ‘menandai subjek’ dalam ruang yang lebih plural. Melalui negosiasi-negosiasi terhadap episteme upaya keterbedaan tersebut diharapkan bisa terpenuhi.

Jilatang is Installed II, Welcome to Ranah Miang”; Rasa Gatal yang Banal.

Malam terakhir Panggung Aktor Sumatera. Pertunjukan dimulai. Tiga tubuh muncul di punggung. Bertelanjang dada dan mengenakan celana panjang berwarna kuning. Tubuh-tubuh tersebut mengkilat. Dua berkepala gundul, satu berambut panjang. Membawa nampan berisi bunga-bunga mawar, dan di tengahnya mangkuk stainless berisi plastik berwarna hijau (jas hujan plastik). Aroma wangi semerbak diringi gerak ritmis dan bunyi (artikulasi) yang berirama dari mulut. Jika dianalogikan, artikulasi (bunyi) yang didengungkan ketiga aktor dengan variasi yang berbeda tersebut sekaligus menjadi ilustrasi musikal sepanjang pertunjukan. Termasuk ritme dalam gerak dan ekspresinya. Bisa disimpulkan bahwa konsep yang ditampilkan sudah tertata secara sistematis melalui komposisi unsur tari (gerak), bunyi (musikal), dan visual (ekspresi) ketiga pemainnya.

Pertunjukan yang diusung oleh Indonesia Performance Syndicate (IPS) dari ISI Padangpanjang yang disutradari oleh Wendi HS tersebut lebih menekankan pada ketubuhan. Tubuh menjadi bagian visual dan audiovisual dalam pertunjukan. Kelisanan dimanifestasikan melalui segala yang ada dan berasal dari tubuh. Tubuh adalah pusat pengalaman sekaligus pusat dari ritus tradisi terjadi. Dalam pengertian tersebut, mitos yang hadir tentang tumbuhan jilatang (jelatang) yang selama ini berada di luar tubuh secara transformatif dipindahkan ke dimensi “tubuh” sebagai ekspresi dan pengalaman. Efek gatal yang dihasilkan oleh tanaman jelatang dijadikan sumber (masalah) penciptaan. Gatal menimbulkan dampak ‘menggaruk’. Miang (bulu halus) yang menyebabkan gatal menjadi dasar ekspresi untuk memformulasikan pengalaman tubuh terhadap lingkungannya.

Aktivitas inilah yang menandai bagaimana tubuh dikelola sebagai wilayah manifestasi pertunjukan. Menggaruk memiliki asosiasi secara simbolik, baik secara denotasi maupun konotasi. Ekspresi dari aktivitas menggaruk tersebut menunjukkan bahwa tubuh mengalami persinggungan dengan pengalaman. Semacam hasrat primordial yang rakus dan ambisius, demi menuntaskan efek gatal yang menjalar. Konotasi tersebut mengarah pada dimensi ‘hasrat’ manusia yang terus-menerus ingin dipenuhi sehingga muncul ungkapan-ungkapan yang simbolik sebagai misal, menggaruk bukit, menggaruk perut, dan sebagainya.

Aspek simbolik yang selanjutnya adalah bunga mawar. Bunga mawar representasi dari tradisi. Ia diperlukan tubuh untuk membangun komunikasi dengan yang di luar tubuh (spiritual/roh). Melalui bunga mawar, tubuh menjadi lebih utuh dan sakral. Apabila dikorelasikan kembali dengan mitos, maka bunga mawar adalah medium atau piranti dalam siklus ritual. Unsur yang secara konvensional diyakini sebagai prasyarat tercapainya ritus dalam diri dan mampu memediasi antara yang jasmaniah dengan yang rohaniah. Pada posisi inilah, mitos dalam konteks tradisi lisan menjadi epistemologis, yaitu pengetahuan yang menghasilkan konsep-konsep adiluhung/kanonik dalam kebudayaan. Sifat epistemologis tersebut tentu saja sudah hadir sejak tradisi diwariskan turun-temurun, akan tetapi dikarenakan sifatnya yang sakral, maka ia cenderung dihadirkan melalui simbolisasi. Dengan demikian kehadirannya dalam konstruksi tradisi akan lebih mitis, berjarak, dan agung.

Hal yang menarik dalam menyaksikan “Jilatang is Installed” adalah perpindahan dari artikulasi ke ekspresi. Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa artikulasi adalah representasi dari kelisanan. Bahasa sebagai bunyi direpresentasikan untuk mendukung ‘kesan’ atau ‘efek’ dengan model repetisi. Pengulangan ini memberikan satu karakter atau pola yang diadopsi dari formula-formula kelisanan yang banyak ditemukan dalam tradisi atau sastra lisan nusantara. Hal yang kemudian menjadi cukup penting adalah bunyi atau artikulasi yang ritmis dan repetitif ini dikomposisikan dengan tubuh yang memvisualisasikan ekspresi. Namun, rupanya bunyi hanya menjadi medium untuk mendukung ekspresi visual dari tubuh. Sebagai pertunjukan, kelisanan mengalami pergeseran di panggung dengan berubahnya penekanan dari sifat artikulatif menjadi wujud ekspresif melalui piranti artistik dan gestur atau gerak.

Mengapa hal demikian bisa terjadi? Asumsi yang bisa diperkirakan secara teknis adalah bunyi harus menyertakan konteks untuk memperoleh pemaknaan yang utuh/lengkap. Sifat interpretatifnya akan terpusat dan terbatas apabila tidak sesuai dengan konteks atau momen. Dalam hal ini bisa dianalogikan bahwa bunyi sebagaimana halnya bahasa selalu membutuhkan universalitas yang konvensional. Sehingga jika disederhanakan, bunyi/artikulasi/bahasa (dalam hal ini kata-kata) tidak sepenuhnya mampu merepresentasikan realitas secara tepat, maka diperlukan visualisasi sebagai wujud ekspresi yang lebih universal. Problematika terhadap bahasa inilah yang menjadi celah ‘perhatian’ untuk mengalihkan wacana artikulatif menjadi wujud ekspresif, yaitu melalui tubuh dan ketubuhan.

Pengalaman terhadap tubuh bisa dipahami sebagai pengalaman yang parsial-subjektif. Pascamodern dan juga pascakolonial menunjukkan bahwa ruang tubuh adalah wilayah yang ontologis dan terkonstruksi. Tubuh sebagai ruang yang ontologis tentu saja dilepaskan dari konstruksi universal atas penyamaan ‘konsep’ tubuh. Tubuh dalam konteks ini dipahami sebagai wilayah yang simultan, serentak, dan plural. Pengalaman melalui tubuh adalah pengalaman yang sifatnya relatif, ekspresif, dan subjektif. Tubuh yang beragam dan plural tersebut menandai bahwa ruang tubuh adalah manifestasi ekspresif yang secara visual lebih spesifik, konkret, dan empirik. Tubuh lebih mudah mengomunikasikan pesan melalui gestur, ekspresi, dan sikap dibandingkan melalui bahasa atau bunyi.


Sedangkan tubuh dalam ruang yang terkonstruksi adalah wilayah yang tidak sepenuhnya natural melainkan kultural. Tubuh selalu mengalami penandaan yang berhubungan dengan dominasi dan kekuasaan. Relasi tersebut menjelaskan bahwa tubuh dan ketubuhan senantiasa mengalami konstruksi-konstruksi ideologis maupun diskursus yang menjadikan tubuh sebagai objek. Sebagai objek maka tubuh dikonstruksi oleh kesadaran. Kesadaran yang hadir dari episteme, yaitu akal. Sebagaimana gagasan Descartes dalam modernitas. Tubuh seolah diasumsikan demikian, objek yang memediasikan gagasan (ide/akal). Setiap gerak-gerik tubuh selalu dikontrol dengan dalih logika, motivasi, dan makna. Apabila kesemuanya tersebut lepas, niscaya tubuh tidak koheren dengan nalar alias abnormal.

Demikian juga dalam pertunjukan. Ekspresi tubuh dinyatakan berhasil jika ia mampu secara artistik atau estetik memediasi gagasan “ketubuhan” untuk dikomunikasikan. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi aktor, terlebih lagi jika model penggarapannya berbasis dari tradisi lisan. Fokus utama tradisi lisan terletak kepada aspek kelisanan yang dominan, sementara dalam suatu pertunjukan yang berpusat pada tubuh lebih menekankan pada ekspresi yang tervisualkan. Tubuh seolah berada dalam wilayah ontologis, meskipun sebenarnya semu. Sebab ia senantiasa mengekspresikan gagasan, mengemban beban dari wilayah kesadaran.

Rasa gatal yang dialami merupakan ekspresi kebanalan. Tubuh merasa “risih” dan tidak nyaman. Pengalaman gatal tersebut dikonstruksi sebagai unsur yang diekspresikan/divisualkan atas dasar kesadaran. Ekspresi yang dieksplorasi oleh tubuh justru menunjukkan adanya konstruksi-konstruksi yang bertujuan memosisikan tubuh tunduk pada logika kesadaran, sebab tubuh kembali terjebak pada artikulasi (bunyi) yang dikonstruksi sedemikian rupa.

Hubungan antara kelisanan sebagai artikulasi dengan tubuh sebagai ekspresi dengan demikian bersifat linear atau searah. Tubuh berusaha melampaui apa yang tidak terkatakan atau terfasilitasi oleh bunyi. Akan tetapi justru tubuh harus kembali menerima konstruksi dari kesadaran yang kemudian memerintahnya untuk “berekspresi” secara konvensional. Pementasan “Jilatang is Installed II, Welcome to Ranah Miang”, merupakan upaya negosiasi terhadap kemungkinan relasional tubuh dengan tradisi lisan. Suatu model yang berusaha menawarkan ketegangan ‘baru’ melalui tafsiran mitos dengan mengubahnya dari kecenderungan artikulasi (tuturan) menuju ke ekspresi (pertunjukan). Jika mencoba memakai pola pascamodern untuk melihat bentuk relasinya sebagai berikut, tubuh adalah ontologi, sedangkan bunyi adalah epistemologi. Tubuh adalah ruang empirik yang dialami, sehingga segala peristiwa yang menandainya menjadi jejak bagi kemungkinan resistensi terhadap nalar dan kesadaran.

“Tradisi Lisan dalam Tubuh Aktor” dengan demikian membuka kemungkinan eksplorasi terhadap posisi seni pertunjukan dan seni tradisi, melalui tawaran formula-formula, strategi, metode, interpretasi, negosiasi, ketegangan, dan juga identitas. Lebih spesifik kepada sosok aktor. Aktor adalah subjek individual yang mengalami interaksi dalam habitus tradisi kebudayaannya. Sebagai subjek individual, ia sekaligus juga bagian dari subjek kolektif yang secara parsial mengonstruksi konvensi-konvensi melalui tubuhnya. Tubuh aktor adalah tubuh yang menandai artikulasi sekaligus ekspresi.

Jambi, November 2017.

Penulis: Dwi Rahariyoso Dosen Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jambi (Unja). http://peristiwadidalamrumah.blogspot.co.id/

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here