Oleh : Dudu Mawarida Sembiring Colia
“Gerah memanaskan hingga jiwa terdalam, ingin ikut mengusap basahnya organ yang tak tampak sekalipun. Menarik perlahan kain panjang motif batik campuran motif ular. Letaknya tak jauh dari goyangan jempol kaki menunggu datangnya kopi tanpa gula kesukaan. Biar kopi pahit tapi yang menghantar tidak boleh pahit. Jalannya melenggok kekiri dan kanan. Baju daster warna ungunya menarik perhatian. Sekalipun tak berdandan, cantiknya tetap menawan dan memanjakan mata yang memandang”.
“ Apa yang kau bicarakan sedari tadi?, kesal pula aku mendengarnya. Muncungmu terus saja berkomat-kamit tak ada maknanya. Cuma hiburan untuk otak kau saja kau buat !”.
“ Halah!. Tidak heran kalau kau begini kepadaku Togap. Memangnya kau pikir aku tak tahu bagaimana kau selama ini. Sedikit pun kau tak pernah menganggap aku ada”, kata si Sonang.
“ Itu kan salah kau sendiri, tidak pernah memikirkan oranglain. Pikirmu hidup ini hanya untuk bersenang-senang?”, dan lagi memang cocok lah kau ku anggap tidak ada. Kau sudah macam setan di kampung Hite-Hite ini sejak lama”.
“ Hidup sudah seharusnya di buat senang Togap! Kau saja yang tak sadar itu”.
Mereka terdiam cukup lama, tak sadar kalau kopi buatan Rosdiana sudah di meja bahkan tak bisa dinikmati seperti biasa. Suasananya berbeda tak sama dengan siang-siang sebelumnya. Sonang juga merasa rugi sekali, di pikirannya hanya menyesal karena melewatkan body semok Rosdiana. “Akh!!!”,akhirnya terungkap sambil menepuk piring kaleng bertulis Sibolga Nauli. Mata Togap tidak berkedip. Justru melotot pertanda tidak senang.
“Apa-apaan kalian ini?, perang tidak seperti biasanya. Biasa kau tertawa keras sampai rahangmu nyaris sobek. Sekarang bisu. Macam tahi lincung pula ku lihat. Lembek-lembek hangat”.
Rosdiana cantik rupanya bermulut cabai rawit yang melepuhkan lidah juga bibir. Telinga Togap dan Sonang serasa berasap saja dibuatnya. Beruntunglah dia berparas cantik. Keduanya jadi tak tega berbuat yang tidak-tidak. Pittor terengah-engah mendatangi mereka. Pakaiannya lusuh dan sangat kotor. Tidak ketinggalan, topi yang terbuat dari Ulos kebanggaan dari tanah Toba juga di tentengnya. Bukannya di pakai malah terbiasa untuk diayunkannya di tangan. Terkejut dengan sikap Pittor yang terlihat mencemaskan sesuatu.
“ Itu…itu… itu Ros, Sonang…kau juga Togap! Aku mau kasih tahu sama orang kampung Hite-Hite semuanya…huh…a a a aku mau melamar si Rosdiana. Eh, maksudku aku mau kalian pergi ke kampung Kandis. Si Rattok dengan istrinya meninggal”. Gelagapan Pittor menyampaikan. Masih saja sempat mengeluarkan cerita jengkel bagi Sonang. Benar saja, belum lagi melewati pagar rumah Rosdiana, hujan sudah mengguyur seisi ruang kampung Hite-Hite dan Kandis. “ ini bukan hal yang aneh. Bukan lagi asing dalam pandangan. Setiap ada musibah di kampung kita, maka yang datang adalah musibah lainnya. Kita tidak pernah di perkenankan alam bumi dan langit ini untuk menyaksikan kepergian kerabat kita. Sekalipun nyawa yang terenggut bukan dalam kuantitas terhitung jari lagi. Persetan dengan kampung ini. Cuih!”. Togap yang berwatak keras dan serius membawa alur bicara yang mengundang pembicaraan selanjutnya”.
Bersambung…
Jambi, 26 April 2018
Biodata Penulis :
Penulis merupakan mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia. Fakultas FKIP Universitas Jambi, bertempat tinggal di Perumahan Mendalo Asri Blok F.No 10.