Oleh : Dudu Mawarida Sembiring Colia
Tiba-tiba ada lelaki muda basah kuyup tertimpa hujan. Wajahnya memang selalu begitu. Ya, seperti orang gila tetapi berjiwa seni tinggi. Tiap kata yang terlontar tajam dari bait puisi maupun syairnya, separuhnya melukiskan kampung Kandis yang bertumpah darah berbaring mayat. Terbunuh atau kecelakaan. Di bilang dukun, bukan. Di bilang paranormal, bukan. Mana ada pengakuan itu darinya, malah ia akan marah berat bila dikatai begitu. Sedikit pun tak bermaksud memperolok, tetapi ada saja singgungan penggempar kampung sekitar karena lelaki itu, Tigor. Kali ini, Tigor juga tidak seperti biasanya dalam berpuisi. Nama Tuhan sang pencipta tersebut dari hati terdalam yang ia keluarkan dengan sepenuh hati.
“Hei kau, Tigor. Ramalan apa yang kau bawa hari ini?. Apa kau tidak ingin membuktikan kalau kau memang pembawa kebenaran dari Tuhan?, coba kau tangkap semua setan di kampung ini!, setidaknya setan yang selalu menghambat niat baik kita”, pinta Togap.
“ Ha, iya. Betul itu, Gap”, Sonang terlupa dengan kekesalannya pada Togap.
Malam tiada berbulan
Kampung kandis kumpulan syaitan
Darah merindu kedamaian aliran
Tapi disini itu hanya kemustahilan
Persetan kandis merayu nyawa hak Tuhan
Di tengah jalan atau persimpangan jalan
Di pintu berengsel jeruji sekalipun
Mesti terenggut tuntas terkapar
Oh dewa….
Demi tanah yang terinjak ini, mata yang melihat ini dan hati yang menyebut namaMu
Oh Tuhan…. ampunkan
Roh yang terpanggil sebelum kami
atas limpah ruah dosanya
jangan pula hukum kami begini
Tigor sebenarnya tak berkuasa atas ilmu apapun. Kata tigor kepada mereka yang menyaksikannya dalam kebasahannya. “ Ini bukan perbuatan setan yang kalian bilang itu. Bukanlah dia Dzat yang melimpahkan hujan. Hujan adalah rahmat Tuhan. Kalian mana tahu, bahwa ini justru baik untuk kita. Bukankah setiap hujan kalian lebih di perkenankan untuk membantu mayat-mayat yang terhantar nyawanya pada Tuhan?”. Bicara Tigor memang jauh tertata apik karena kecintaanya pada dunia puisi dan syair. Yang lain tentu terbata-bata saat akan menyahuti ucapannya. Mereka minder dengan Tigor yang terkenal gila tetapi luar biasa. Kegilaan itu timbul hanya karena Tigor dianggap berbeda dalam pemikirannya.
“ entahlah. Kau selalu saja buat aku pusing, Gor. Hei, kalian!, apa diantara kalian ada yang mengerti maksudnya barusan?, aku juga penasaran. Apa yang bisa kita bantu kalau kita saja terjebak hujan begini. Aku yang bodoh atau memang dia yang terakreditasi gila?”, kata Sonang yang tak lagi senang. “ Begitu saja kau sudah tak paham, Nang. Kau tidak tahu kan, doa termujarab adalah ketika turunnya hujan. Tuhan mengutuk kampung ini tapi juga memupuknya dengan pemberian yang mengalahkan apapun, termasuk setan berjenis seperti kau. Mata mu tidak akan berhenti menatap runcing tiap lekuk tubuh Rosdiana atau perempuan-perempuan janda di sepanjang kampung Hite-Hite dan Kandis yang terujung sana. Sadarlah Sonang, ini bukan hanya karena kejadian di masa lalu yang sungguh tak terampunkan. Kesalahan kasat mengundang pertumpahan darah itu bukan hanya karena kerasnya pemerkosaan, tingginya angka pembuhunan, kecelakaan, perampokan, tetapi yang tidak kasat seperti kau juga bagian kutukan Tuhan”. Tigor bicara panjang, kemudian menyambunglah si Pittor “ artinya kau telah terlecehkan, Ros”, katanya pada Rosdiana.
“ Muncungmu itu ya, Pitt!!!, aku bersumpah demi Tuhan. Aku tak akan lagi berpakaian warna ungu. Katakan apa yang membuat kalian tergoda kepadaku?, biar semua ku musnahkan demi matamu di masa depan, Sonang”.
“ akh, jangan teruskan omong kosong ini. Hujan sudah berhenti. Lekas kita pergi ke rumah duka, sebelum mayat Rattok di bungkel”.
Pembicaraan itu ternyata dianggap tiada artinya oleh Togap. Begitulah. Wataknya memang sulit mempercayai sesuatu yang tak ilmiah baginya. “ Bungkel?, apa itu?, kata Rosdiana. “ Buang ke laut”, jawab Sonang saat Togap sudah berlari keluar dengan rintikan hujan. Langit mendung tak lagi tampak, perlahan dunia begitu terang. Peti mayat Rattok dan istrinya yang hampir di kremasi, tidak jadi di lakukan penduduk Hite-Hite dan Kandis. Alasan pendeta begitu kuat. Kremasi sudah tidak zaman lagi dan itu bukan budaya yang untuk di pertahankan terus menerus. “ Raga tidak seharusnya di bakar, itu adalah sifat api. Kita ini dari tanah. Maka kembalikan raganya dan satukan ia pada tanah pula”, kata pendeta, Ucok Simangunsong, S.Th.
“ Pendeta juga manusia biasa, sama seperti kau Tigor, kau Togap, dan kau Sonang. Aku sama seperti kalian. Ibarat pohon, yang tak berdaun juga pohon. Tidak berbuah juga pohon. Tidak beranting kuat juga di sebut pohon. Biarpun kekurangan itu ada pada kita selaku makhluk yang penuh perbedaan, tetapi kita punya kepercayaan atas nama Tuhan yang sama, bukan?. Tuhan tidak mengutuk kampung kita tercinta ini. Dari kita sendirilah yang mengutuknya bahkan menjadi doa kita setiap hari atau setiap kali ada musibah dan cobaan dari Tuhan dengan mengatakan ‘Persetan Kandis’. Mulutmu harimaumu. Peribahasa yang menggambarkan penduduk kita. Wajar saja setan semakin marah atau bisa saja semakin senang karena banyak yang menyalahkannya. Ketauhilah saudaraku sekalian, anak Bapa yang mulia, Setan itu musuh nyata bagi kita dan kampung Hite-Hite juga kampung Kandis, musuh bagi semuanya. Jikalau kau anak Bapa ahli Syorga, maka kuduskanlah nama-Nya di hatimu. Lupakan yang pernah terucap dan jangan pula terucap lagi”. Semua hening mendengarkan. Ada yang terisak tangis ada pula yang memeluk kerabat lainnya dengan wajah penuh kesalahan pada penyesalan. Tentu mereka ingin hidup dengan tenang. Dari itu mereka berjanji akan menjadi yang lebih baik. Agar tidaklah dari diri mereka sendiri yang menjadi setannya. Kemudian mereka berjalan beriringan menuju tempat pemakaman umum Halak Batak yang tidak jauh dari kampung Kandis itu.
Biodata Penulis :
Penulis merupakan mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Fakultas FKIP Universitas Jambi, bertempat tinggal di Perumahan Mendalo Asri Blok F.No 10.