Nirmala setara lampu-lampu taman redup, remang-remang hidup berkisah seorang diri. Mengais cerita duka, cerita sendu, cerita batin yang tersenggol kerikil. Masuk relung jantung, berontak pada satu episode demonstrasi. Protes terhadap pemaparan, kenyataan, keadaan tanpa solusi serta jalan untuk kembali. Menjadi seorang besar, berpijak dengan kaki sendiri di atas debu-debu aspal. Kotor oleh dosa-dosa yang tak bertuan, terbuang bebas hinggap di tubuhnya.
Menjelma menjadi kulit, menjadi rambut, menjadi topeng memudarkan wajah. Berpura-pura tidur di bawah purnama, sementara nurani terbang ke angkasa. Nirmala hinggap di badan kolektor lukisan, melukis wajahnya terlampau malang. Tidak diberi royalti, upah, penghargaan atas jasa memberi ekspresi pada dunia. Gambaran hidup pada persoalan bertahan diri mencumbu butiran padi. Nirmala hinggap di badan direktur berdasi, menggusur ornamen-ornamen plastik. Dekorasi rumah, berbekal dari sampah, kertas, atau pempes bekas. Kamuflase gedung menjulang di atasnya, meratakan perlahan-lahan merenggut kenyataan. Merampas raut wajah, kehilangan binar dan matanya menjadi sayu di pintu ajal. Badannya kurus, berdarah-darah, tubuhnya sempoyongan menopang beban yang dipaksakan.
Nirmala tidak bernapas, di atas bukit, tumpukan sampah menjulang tinggi. Tubuhnya berselimut rongsokan limbah tak berguna. Jantungnya berhenti, urat nadi putus, kulit melepuh, wajah, bibir, sekujur tubuh pucat. Nirmala mati disiksa hidup, ber-alas kebencian, dendam, amarah pada mereka. Narapidana tanpa hukuman, menjarah, merampas hak hidup wanita tak berdaya. Mengabaikan toleransi sesama jiwa, merenggut hak asasi luhur. Sementara saat jasadnya membusuk di pucuk bukit sampah. Orang-orang melihatnya tergusur alat berat, tanpa ada kalimat duka dan air mata.
Jambi 30 Mei 2018
Biodata penulis : Nafri Dwi Boy adalah mahasiswa FKIP pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia semester 3.