Ketika bunga-bunga berhenti berzikir

Desa Alam Tanah tampak suram dan mengenaskan. Sudah satu bulan ini kejadian aneh terjadi. Padi yang ditanam mendadak mati, masyarakat yang sebagian besar petani menjadi gagal panen. Belum lagi kabut asap yang tiba-tiba muncul karena terbakarnya hutan yang tidak jauh dari sana. Selain perekonomian yang jatuh, masyarakat juga harus mengenakan masker setiap harinya.

Sudah satu bulan ini mereka harus bertahan dengan makanan seadanya karena tidak punya cukup uang untuk bertahan lebih lama. Belum lagi warga yang memiliki harta melimpah sudah lama kabur dari sana dan mengungsi di rumah keluarganya. Mereka takut warga-warga lain menjadi rakus dan merampas harta-harta mereka.

Pak Maman selaku kepala desa kembali mengumpulkan warga di rumahnya. Ini adalah pertemuan mereka yang ke sepuluh kali dalam satu bulan. Pak Maman berdiri di depan masyarakat yang sedang mendengar penjelasannya.

“Kalian masih ingat dengan perkataan saya bulan lalu? Saya pernah mendengar perkataan dari seorang dukun bahwa jika bunga-bunga di padang bunga itu layu akan terjadi bencana besar di desa kita.” Pak Maman menunjuk ke arah padang bunga yang tidak jauh dari rumah warga.

“Bencana besar itu akan membunuh kita semua. Kita akan tersiksa hingga tewas tanpa sebab.” Sontak masyarakat menjadi cemas, mereka mulai ribut.

“Bunga-bunga yang mati itu membuat tanah di desa tidak lagi subur. Sehingga padi-padi mulai mati. Desa ini tidak lagi aman, tidak layak untuk ditinggali.”

Warga-warga berdiri, mereka mulai panik. Beberapa warga yang kaya raya segera pulang untuk pergi dari desa itu. Beberapa warga mulai mengajukan protes kepada Pak Maman.

“Sebagai seorang kepala desa, seharusnya Bapak tidak boleh membuat warga panik. Apa yang Bapak katakan itu dapat membuat masyarakat takut.” Protes Yusuf dengan nada setengah membentak. Tapi istri Yusuf tidak sejalan dengan pendapat suaminya, dia membela Pak Maman.

“Justru sikap Pak Maman itu benar, dia hanya mengimbau warga untuk berhati-hati. Dia tidak ingin menakuti siapapun, Pak Maman hanya berkata apa adanya. Tidak mau memberikan harapan palsu kepada masyarakat.”

Yusuf kaget mendengar perkataan istrinya, lantas warga-warga yang lain setuju dengan pendapat istrinya. Yusuf tidak tinggal diam, dia terus mencecar Pak Maman dengan berbagai pertanyaan.

“Seharusnya Bapak memberikan solusi, tidak hanya menyebarkan ketakutan kepada kami!”

“Saya sudah memberikan solusinya sejak satu bulan yangu lalu. Bunga-bunga mati karena ada sepasang kekasih yang berzina di tengah padang bunga itu. Perzinaan itukan perbuatan yang sangat dilarang. Saya sudah mengusulkan untuk menangkap Sueb dan Andini sejak bulan lalu. Karena saya melihat sendiri merekalah sepasang kekasih yang berzina di sana.” Jelas Pak Maman yang ikut emosi mendengar protes dari Yusuf.

Yusuf tidak hanya diam, dia tetap tidak percaya dengan semua yang Pak Maman katakan. Tapi warga-warga tetap mendukung Pak Maman, hingga Yusuf mencoba meyakini semua warga itu.

“Sudah satu bulan kalian mencari sepanjang hari tapi tidak juga menemui mereka. Aku yakin kalau Pak Maman berbohong, sebenarnya dia mengarang cerita itu untuk membuat kita ketakutan. Atau jangan-jangan, Pak Mamanlah yang dengan sengaja membakar hutan dan membuat bunga itu layu!”

Mendengar perkataan Yusuf, sontak seluruh warga menjadi emosi. Mereka tidak terima dengan tuduhan menyesatkan yang dikatakan Yusuf. Warga-warga mencoba mendekati Yusuf dan memukulnya. Beruntung Pak Maman dapat melerai dan menenangkan.

“Aku akan membuktikannya, Yusuf.”

Pak Maman memerintahkan dua orang pengawal pribadinya membawa seseorang dari dalam rumahnya. Mereka membawa seorang pria yang kepalanya ditutup dengan kain hitam. Pak Maman mendekatinya, kemudian membuka penutup kepalanya dan menjambak rambut pria itu.

“Dialah Sueb, pria yang berzina dengan pacarnya di padang bunga itu.”

Mendengar tuduhan itu, lantas Sueb tidak terima. Dia berteriak dan mencoba membela diri.

“Bohong! Aku tidak melakukannya. Aku dan kekasihku hanya sedang berlibur ke sana. Kemudian kami melihat sesuatu yang aneh.”

Belum sempat Sueb menyelesaikan perkataannya, Pak Maman lekas memukulnya keras hingga membuat Sueb tersungkur.

“Diam kau! Usaha kita satu bulan ini mencari sepasang kekasih itu akhirnya membuahkan hasil. Sekarang kita hanya tinggal mencari Andini, pacarnya yang sedang bersembunyi di dalam hutan.”

Semua warga gembira melihat perkembangan pencarian mereka satu bulan ini. Sebentar lagi bunga-bunga itu kembali mekar dan musibah akan berakhir. Warga-warga mulai mengerumuni Sueb, kemudian mereka menginterogasinya dengan kasar.

“Dimana wanita itu?”

“Ayo jawab!”

“Kami tahu wanita itu sedang sembunyi.”

Tidak tahan mendengar pertanyaan-pertanyaan itu Sueb lekas membentak semua warga.

“Aku tidak tahu! Kami tidak salah, kalian telah memfitnahku. Silakan pukul aku sesuka hati kalian!”

Mendengar pernyataan Sueb, warga-warga lekas emosi. Mereka menghajarnya hingga berdarah. Yusuf mencoba menenangkan, tapi tidak berhasil. Emosi yang memuncak membuat warga semakin geram.

Yusuf tidak kuat melihat penyiksaan itu, dia mengajak istrinya pulang. Tapi istrinya malah ikut menghajar Sueb. Sekuat tenaga Yusuf membujuk istrinya pulang, tapi tidak juga berhasil. Akhirnya dia menjauh dari sana dan pulang sendirian. Sepanjang jalan Yusuf merasa ada sesuatu yang salah. Dia merasakan ada sesuatu yang tiba-tiba hilang dari hidupnya.

Setibanya di rumah, dia melihat pintu rumahnya terbuka lebar. Sontak Yusuf kaget, dia berlari masuk dan memanggil anaknya yang baru berusia sembilan tahun. Ketika sampai di dapur, Yusuf termenung.

“Ayah, syukurlah cepat pulang. Tadi Adek bertemu dengan Kak Andini di jalan, Karena Kak Andini lapar jadi Adek bawa ke rumah. Untung masih ada sisa makanan siang tadi, jadi Adek berikan ke Kak Andini.”

Melihat Yusuf yang mematung, sontak Andini mulai ketakutan. Dia menundukkan kepala, berharap Yusuf tidak marah.

“Wah, kamu baik sekali. Tapi ini sudah malam, sebaiknya kamu tidur saja biar Ayah yang menemani Kak Andini makan.”

Anaknya lekas masuk ke kamar, Yusuf duduk di hadapan Andini. Wanita itu tertunduk lesu, Yusuf mulai bertanya.

“Kau mengenali Sueb?”

Mendengar pertanyaan itu, Andini menatap Yusuf dengan wajah sedih. Dia menitikkan air mata.

“Iya aku mengenalnya, sudah satu bulan kami tidak bertemu.”

“Sueb ditangkap oleh warga.”

Andini terdiam, tangisannya tidak bisa terbendung. Air matanya mulai deras membanjiri pelupuk mata. Dia berdiri, kemudian berlari keluar.

“Kamu mau kemana?”

“Aku mau menemui Sueb.” Yusuf memegang tangannya, dia berusaha menahan Andini yang sedang terbalut emosi.

“Kau tidak boleh keluar!”

“Kenapa?”

“Mereka semua akan membunuhmu!”

Andini menghentikan niatnya, dia menangis kencang kemudian memeluk Yusuf erat. Yusuf memeluknya juga dan merasa kasihan kepada Andini. Dia ingin menyembunyikannya, tapi kondisi di sana tidak aman.

“Kami tidak bersalah, satu bulan yang lalu kami sedang liburan di padang bunga. Kami hanya duduk dan menikmati keindahan alam, kami hanya menikmati indahnya bunga-bunga yang mekar. Hingga akhirnya kami melihat sesuatu di tengah padang bunga, kami mendekati bunga-bunga yang bergerak. Ketika sampai di sana, kami melihat dua orang sedang bercinta di sana.” Ujar Andini sembari terus menangis tersedu-sedu. Dia menceritakan semua kejadian sebenarnya kepada Yusuf.

“Siapa orang yang sedang bercinta di sana?”

Tiba-tiba istrinya pulang dan membuka pintu, dia melihat Yusuf berdua dengan Andini di dalam rumah sedang berpelukan. Istrinya terdiam, dia menghela napas kemudian berusaha pergi dari sana untuk memanggil warga. Yusuf menahannya dan menarik istrinya masuk ke rumah.

“Dasar pelacur! Beraninya kau menggoda suamiku! Sekarang sudah terbukti bahwa dialah yang berzina di padang bunga bersama pacarnya. Aku akan melaporkannya ke warga, sekaligus melaporkanmu Yusuf!”

Istrinya lekas mendorong Yusuf hingga terjatuh, dia secepatnya pergi dan berteriak di halaman rumah.

“Tolong!”

“Tolong!”

“Andini ada di rumahku, dia sedang berzina dengan suamiku!”

Warga-warga berkumpul di halaman rumah, Yusuf menarik Andini ke dapur. Dia membuka pintu belakang, kemudian memerintahkan Andini untuk pergi dari sana. Ketika Yusuf kembali ke ruang tamu, warga-warga langsung menyeretnya keluar.

“Dimana wanita itu?” Tanya Pak Maman membentak.

“Siapa?”

“Jangan pura-puratidak tahu! Tadi kalian sedang berpelukan di dalam rumah. Jangan berbohong!” Timpal istrinya.

“Aku sungguh tidak tahu apa maksud kalian, aku dari tadi sedang menjaga anakku di dalam.”

Dua orang pengawal Pak Maman datang dari belakang rumah dan membawa Andini dengan kasar. Sontak seluruh warga terkejut melihat penemuan itu, mereka tidak menyangka ternyata Yusuf juga berkelakuan bejat.

“Ternyata dari tadi kau berpura-pura baik hanya untuk melindungi Andini. Kau sebenarnya menyukai Andini, kau telah mengkhianati istrimu sendiri!” Ujar Pak Maman memprovokasi warga.

“Aku tidak melakukan apapun bersama Andini, aku hanya memberinya sedikit makanan.  Dia kelaparan! Dia ketakutan! Tidakkah kalian kasihan dengannya?”

Yusuf mendekati Sueb yang juga ikut ditahan oleh warga. Sueb menangis melihat Andini berhasil ditangkap.

“Sueb, percayalah padaku! Aku tidak melakukan apapun pada kekasihmu. Aku hanya membantunya sembunyi.” Sueb mengangguk, dia percaya dengan perkataan Yusuf.

“Jangan banyak alasan, ayo kita bawa mereka ke padang bunga!”

Warga-warga membawa ketiga tahanan itu menuju padang bunga yang sudah layu. Tanah di sekitar sana menghitam, ditambah lagi asap-asap tebal mengelilingi mereka. Yusuf dipegang oleh kedua pengawal Pak Maman, sementara Sueb dan Andini diseret warga ke tengah padang bunga.

Yusuf melihat warga-warga sudah beringas, mereka memukuli Sueb dan Andini di tengah padang bunga. Mereka menghajarnya tanpa ampun, hingga akhirnya Sueb dan Andini menghembuskan napas terakhirnya. Warga-warga kembali menuju ke arah Yusuf, mereka ingin membunuhnya juga. Istri Yusuf tidak membela, justru dia juga ingin menghajar habis suaminya.

“Tidak, aku tidak bersalah!”

“Jangan bunuh aku!”

“Aku ini suamimu, kenapa kau tega?”

Teriak Yusuf ketakutan dan memohon ampun kepada seluruh warga. Tapi sebelum Yusuf dihajar oleh warga, sesuatu terjadi. Bunga-bunga itu mengeluarkan bau yang menyengat, hingga membuat semua warga keracunan. Mendadak mereka merasa seperti tercekik. Tenggorokannya terasa panas, hingga akhirnya mereka tewas mengenaskan. Anehnya, sebelum tewas mereka lebih dahulu menyebutkan dosa-dosa yang pernah dilakukannya selama ini.

Saat Pak Maman menemui ajalnya, dia mengatakan sesuatu di hadapan Yusuf yang membuatnya terdiam.

“Aku bercinta dengan istrimu di padang bunga itu.”

Setelah itu Pak Maman tewas, Yusuf terdiam. Dia tidak menyangka dengan kenyataan yang didengarnya dari muluk Pak Maman. Anehnya lagi, bau yang dikeluarkan bunga itu tidak membuat Yusuf kesakitan. Dia berdiri sembari mendekati istrinya yang sedang sekarat. Yusuf memeluknya penuh kasih sayang.

“Maafkan aku.”

Itulah kalimat terakhir yang dia dengar dari istrinya. Setelah itu, istrinyamenghembuskan napas terakhir. Yusuf berdiri, air matanya mulai deras berjatuhan di pipinya. Dia menangis, berteriak sekuat mungkin. Pikirannya sangat kacau, hingga akhirnya dia melihat jam sudah memasuki waktu Subuh.

Yusuf berjalan terseret-seret menuju masjid yang mulai berdebu, dia membuka pintunya kemudian menyalakan pelantang. Yusuf mengumandangkan azan Subuh dengan suara merdu, setelah sebulan penuh suara azan tidak terdengar di sana karena warga-warganya sibuk mencari Sueb dan Andini. Suara azan yang selama ini hilang dari kehidupan Yusuf serta warga-warga lainnya.

Saat azan Subuh berkumandang, bunga-bunga itu mendadak tumbuh dan mekar kembali. Kabut asap yang tebal mendadak hilang, sawah-sawah kembali subur. Air kembali jernih, desa itu pulih kembalik. Selesai menjalankan salat Subuh, Yusuf pulang ke rumahnya.

Nahas anaknya sudah tidak ada lagi di dalam kamar. Yusuf yang sudah mulai tenang kembali terkejut, dia memanggil anaknya dan mencari ke seluruh ruangan rumah. Tapi tidak juga ditemukan. Yusuf mencari ke sekitar desa, hingga sampai di pinggir padang bunga dia menemukan anaknya sedang duduk memandang bunga-bunga yang mekar.

Yusuf duduk di sebelahnya sembari merangkul anaknya, mereka melihat pemandangan yang sangat indah. Pemandangan yang selama satu bulan ini tidak pernah dilihat lagi. Sesuatu bergerak dari tengah padang bunga, seperti ada yang berjalan di sana. Setelah beberapa lama bergerak, seseorang yang berjalan itu membuat Yusuf terkejut. Dia keluar dari padang bunga dan memberikan senyum ke arah Yusuf dan anaknya.

“Andini!” Ucap Yusuf pelan.

 

Oleh : Nafri Dwi Boy

(WN)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here