Kotak Persegi dari Nenek

Di sebuah pelosok desa hiduplah sepasang suami istri yang dikaruniai seorang putri bernama Ayu. Warga sekitar biasa menyapa mereka dengan panggilan Pak Toni dan Bu Mirna. Mereka hidup dengan kondisi yang sangat sederhana di sebuah rumah yang hanya berdindingkan anyaman bambu dan atap daun rumbia. Di pekarangan rumah mereka banyak pohon pisang dan pepaya yang tumbuh. Pak Toni sengaja menanamnya. Jika penghasilan sehari-harinya tidak mencukupi untuk membeli beras, maka pisang dan pepayalah yang menjadi pengganjal perut mereka. Sehari-harinya Pak Toni dan istrinya menganyam berbagai macam alat perabotan dari bambu untuk dijual di kota.

Pada suatu pagi langit tampak lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Pak Toni pun mempersiapkan dagangannya di sepeda ontel kesayangannya. Berharap hari ini barang dagangannya bisa laris manis. Jarak dari desa ke kota memakan waktu sekitar dua jam setengah. Sebenarnya bisa saja lebih cepat jika melintasi jembatan gantung, namun karena jembatan tersebut telah putus sehingga warga desa harus mengelilingi sungai dan tentunya memakan waktu lebih lama untuk bisa sampai ke kota. Para warga juga takut menyebrangi sungai menggunakan perahu karena reptil penunggu sungai tersebut kerap menampakkan diri akhir-akhir ini. Pak Toni adalah sosok yang tidak pernah mengeluh, baginya semua akan ia lakukan demi mendapatkan rejeki yang halal. Dan selama perjalananya, Pak Toni selalu menyenandungkan sholawat-sholawat Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalaam. Ia merasa lebih tenang jika menyenandungkan sholawat-sholawat tersebut.

Pada awalnya perjalanan Pak Toni aman-aman saja, namun setelah setengah jalan langit tampak mendung pertanda akan turun hujan. Mau kembali ke belakang juga tanggung, sehingga Pak Toni memilih untuk meneruskan perjalanannya. Rintik-rintik hujan mulai menyentuh bumi dan semakin lama semakin deras. Pak Toni pun melihat ke sisi kanan kiri jalan guna mencari tempat berteduh. Beruntungnya tidak jauh dari posisi Pak Toni ada sebuah rumah dan ia pun bergegas mengarah ke sana. Setelah memarkirkan sepedanya, Pak Toni terkejut melihat barang dagangannya yang basah kuyup. “Waduhh..gimana bisa dijual kalo basah gini,” ucapnya sambil mengibas-ngibaskan barang dagangannya. Pak Toni duduk di sebuah kursi rotan yang ada di depan rumah tersebut. Ia mengamati kondisi rumah tersebut. Dindingnya yang bolong-bolong serta atapnya yang mulai renggang membuat Pak Toni merasa iba. Sayup-sayup suara dzikir terdengar di telinga Pak Toni. Karena angin yang cukup kencang, pintu rumah tersebut pun sedikit terbuka. Tampaklah seorang nenek tua yang sedang duduk di sajadahnya. Sepertinya nenek tersebut sedang menunaikan shalat dhuha. Mukenanya basah akibat atap yang bocor, namun nenek tersebut tetap khusyuk melantunkan dzikirnya. Pak Toni pun tergugah hatinya untuk membantu memperbaiki rumah si nenek suatu saat nanti. Ia menatap hujan yang mulai mereda, dan tiba-tiba saja nenek tersebut datang menghampiri Pak Toni. “Berteduh ya Nak?” ucap si nenek. “Iya Nek,” jawab Pak Toni disertai senyuman. “Waduhh itu dagangannya pada basah,” ujar si nenek melihat dagangan Pak Toni yang basah.”Iya Nek hujannya tadi mendadak jadi pada basah semua,” jawab Pak Toni. Cukup lama mereka terdiam hingga akhirnya Pak Toni mulai membuka suara. “Nenek tinggal sendirian atau sama anak?” tanya Pak Toni. “Saya tinggal sendiri Nak, suami sudah meninggal tiga tahun yang lalu dan sampai sekarang Nenek belum dikaruniai anak,” jawabnya sambil tersenyum. Mendengar jawaban si nenek Pak Toni pun merasa iba. Di usianya yang mulai renta, si nenek harus hidup sendiri dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Pak Toni pun teringat dengan almarhum ibunya yang beberapa tahun silam meninggal. Ia tidak bisa melihat wajah ibunya untuk yang terakhir kalinya akibat kondisi keuangan yang saat itu sedang krisis. Rasa menyesal pun kembali merayapi Pak Toni. “Nak, itu hujannya sudah reda,” ujar si nenek memecahkan lamunan Pak Toni. Pak Toni pun melihat sekeliling. “Oh iya Nek, terima kasih ya Nek udah dibolehin berteduh disini,” ujar Pak Toni. “Iya Nak sama-sama,” jawab si nenek. Pak Toni pun mengayunkan sepedanya kembali ke rumah, toh juga percuma ke kota karna dagangannya sudah basah semua.

Sore itu Bu Mirna sedang menyapu pekarangan rumahnya.Ia terkejut melihat sepeda ontel suaminya yang membawa daun rumbia. “Pak, untuk apa daun rumbia sebanyak itu? Ibuk rasa atap kita masih bagus, belum ada yang bocor,” ucap  Bu Mirna sambil menatap atap rumahnya.Pak Toni memarkirkan sepedanya dan duduk di kursi kayu untuk beristirahat.Bu Mirna pun menghampiri Pak Toni dengan secerek air putih.“Ini Pak diminum dulu,” ucap Bu Mirna. “Iya Bu terima kasih,” jawab Pak Toni.“Jadi untuk apa daun itu Pak?” tanya Bu Mirna lagi. “Jadi gini Bu, kemarin waktu Bapak kehujanan Bapak singgah dan berteduh di rumah nenek-nenek. Kasian Bu, atapnya udah renggang-renggang. Dinding rumahnya juga udah pada bolong-bolong. Neneknya juga tinggal sendirian, nggak punya anak. Bapak keingat sama almarhum ibuk jadinya,” jelas Pak Toni. “Oalahh kapan Bapak mau ke sana Pak? Biar Ibu bantu,” ucap Bu Mirna. “Nggak usahlah Bu, jauh kasian si Ayu. Biar Bapak sendiri aja. Semoga saja hari sabtu nanti anyaman atap sama dindingnya udah jadi. Jadi hari minggunya Bapak bisa ke sana,” jawab Pak Toni. “Hari minggu? Jadi Bapak nggak ke kota?” tanya Bu Mirna. “Sepertinya nggak dulu Bu, beras kita kan juga masih ada Bu, kalo lauknya nanti Bapak usahakan lagi,” jawab Pak Toni. “Bukan masalah makannya Pak, kemarin Ibu dipanggil sama gurunya Ayu. Kata gurunya kita udah telat bayar uang bukunya Ayu. Ibu udah minta keringanan sampai Senin nanti karna Ibu pikir Bapak juga bakal ke kota untuk jualan,” jelas Bu Mirna. “Waduh gimana ya Bu, kasian juga sama neneknya. Apalagi sekarang udah mau masuk musim hujan.  Hmm..kalau begitu nanti Bapak coba pinjam uang sama Pak RT ajalah Bu. Maafin bapak ya Bu, bukannya nggak mau memenuhi kewajiban, tapi ada hal yang perlu Bapak lakukan. Insyaallah niat baik Bapak ini memberikan kebaikan untuk keluarga kita nantinya Bu, aamiin,” ucap Pak Toni. “Yaudahlah Pak kalau begitu, kasian juga sama neneknya. Nanti biar Ibu cari kerja-kerja sampingan lain untuk nambah uang bukunya Ayu,” ucap Bu Mirna.

Beberapa hari kemudian semua anyaman dinding dan atap pun telah selesai dikerjakan. Pak Toni kembali mengunjungi rumah nenek tersebut. Awalnya nenek tersebut menolak niat baik Pak Toni. Namun Pak Toni terus meyakinkan si nenek bahwa niatnya tulus untuk membantu memperbaiki rumah si nenek. Sehingga si nenek pun membiarkan Pak Toni memperbaiki rumahnya. Pak Toni memulai pekerjaannya dengan memperbaiki dinding rumah si nenek terlebih dahulu dan kemudian dilanjutkan dengan memperbaiki atapnya. Selama tiga hari berturut-turut Pak Toni datang ke rumah si nenek untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun ada satu momen di mana Pak Toni merasa bingung. Pasalnya setiap nenek itu melantunkan dzikir, ia selalu mengorek tanah yang ada di sebelah sajadahnya dan mendapatkan sesuatu dari dalam tanah tersebut. Setelahnya nenek tersebut mengambil kotak persegi yang berada di dalam lemarinya, dan menaruh benda yang didapatnya. Pak Toni yang tidak terlalu penasaran pun mengira bahwa nenek tersebut sedang mengumpulkan batu, entah unuk apa gunanya. Hingga hari ketiga rumah si nenek telah selesai diperbaiki. Pak Toni pun beristirahat di kursi rotan si nenek. Seperti biasa si nenek akan keluar membawa secerek air putih. “Maaf ya nak, di rumah Nenek cuma ada air putih,” ucap si nenek. “Terima kasih Nek,” jawab Pak Toni.“Sebenarnya kamu nggak perlu repot-repot memperbaiki rumah Nenek, toh juga ini cuma rumah sementara. Nanti rumah yang kekal jauh lebih bagus dari ini Nak. Oh iya Nak, sepertinya kontrakkan nenek udah mau habis jadi dua hari lagi kamu kesini ya. Di lemari nenek itu ada kotak persegi warna hitam. Nanti kamu boleh bawa kotaknya pulang buat kenang-kenangan sama sebagai tanda terima kasih dari Nenek,” ucap si nenek. “Maksudnya Nek? Ini bukan rumah Nenek? Lalu Nenek mau pindah ke mana?” tanya Pak Toni bingung. “Makanya dua hari nanti kamu datang ke sini, dan jangan lupa bawa kotak hitam itu pulang ya,” ucap si nenek dan masuk ke dalam rumah. Pak Toni masih merasa bingung dengan ucapan si nenek, namun ia tidak terlalu mengambil pusing. Setelah badannya terasa membaik, ia pun pamit kepada si nenek untuk pulang ke rumah.

Dua hari kemudian Pak Toni datang ke rumah si nenek sesuai permintaan si nenek.Awalnya Pak Toni mengira si nenek sedang berdzikir seperti biasa, namun takada sayup-sayup suara orang yang sedang berdzikir. Hal-hal aneh mulai melintasi pemikiran Pak Toni. Ia pun segera mendobrak pintu rumah si nenek. Namun yang dilihatnya hanyalah lemari dan barang-barang si nenek. Entah kemana perginya si nenek. Pak toni pun memanggil si nenek beberapa kali, namun tetap tidak ada sahutan. Hingga akhirnya pemuda berbaju putih tiba-tiba saja telah berada di belakang Pak Toni. “Maaf ada apa ya pak?” ucap pemuda tersebut. “Ini saya sedang mencari nenek-nenek pemilik dari rumah ini,” jawab Pak Toni.“Oh Nek Tati udah meninggal kemarin pagi Pak,” ucap pemuda tersebut. Pak toni diam mematung, lalu ketika ia hendak bertanya lagi, si pemuda telah menghilang entah kemana. Pak toni pun teringat dengan ucapan si nenek beberapa hari lalu. Si nenek mengatakan bahwa masa kontraknyaakan habis, baru sekarang Pak Toni mengerti maksud dari si nenek. Lantas ia pun mengingat pesan si nenek yang menyuruhnya mengambil kotak persegi yang berada di lemari. Dengan ragu-ragu Pak Toni membuka lemari tersebut dan melihat kotak yang dimaksudkan. Dengan perlahan Pak Toni membuka kotak tersebut, dan betapa terkejutnya ia melihat emas-emas yang bebentuk lingkaran memenuhi kotak tersebut. Ia yang selama ini mengira bahwa yang didapatkan si nenek setelah dzikirnya adalah batu pun tidak bisa berkata-kata. Mau berterima kasih juga ia tak bisa mengucapkannya. Pak Toni pun duduk dan menangis. Ia tak menyangka dengan apa yang ia dapatkan. Ia juga tak henti-hentinya bersujud sebagai tanda rasa syukur atas apa yang didapatkannya. Dan tak lupa pula ia memanjatkan doa agar si nenek diberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya.

Setibanya di rumah, Pak toni menceritakan segala kejadian yang terjadi dan menyerahkan kotak persegi itu kepada istrinya. Bu Mirna yang melihat isi kotak itupun menangis haru sambil memeluk putrinya, Ayu.Ia juga melakukan sujud syukur tanda terima kasihnya kepada yang Maha Kuasa. Dan semenjak saat itu kehidupan Pak Toni berubah, kini ia telah menjadi pedagang perabot anyaman yang sukses. Ia membuka kios sendiri di kota. Anyamannya yang rapi membuat kios Pak Toni terkenal akan kualitas barangnya. Pak Toni kini hidup bahagia dengan segala rejeki yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Dan setiap hari Jumat Pak Toni selalu mengunjungi panti-panti asuhan untuk berbagi agar apa yang dimilikinya semakin berkah dan bermanfaat bagi sesama.

“Allah senantiasa menolong seorang hamba, selama hamba tersebut menolong saudara-saudaranya yang lain”

Oleh: Ghea Reiva Igusmi Putri

(Wanti)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here